Mendikdasmen: Kurangnya Kesadaran terhadap Kedaulatan Bahasa Indonesia Harus Menjadi Alarm Bersama
Surabaya, 1 Agustus 2025—Menteri Pendidikan Dasar dan Menengah, Abdul
Mu’ti, menyampaikan keprihatinan mendalam terhadap melemahnya kesadaran
masyarakat Indonesia atas makna strategis bahasa Indonesia sebagai simbol
kedaulatan bangsa. Hal ini disampaikan dalam kegiatan Konsolidasi Daerah
Pengawasan Penggunaan Bahasa Indonesia yang diselenggarakan pada Jumat, 1
Agustus 2025, di Balai Besar Penjaminan Mutu Pendidikan, Provinsi Jawa Timur.
Menurut Abdul Mu’ti,
bahasa Indonesia bukan sekadar alat komunikasi, melainkan perekat identitas
bangsa dan instrumen diplomatik yang mencerminkan peradaban Indonesia. Namun,
dalam praktiknya, kesadaran terhadap fungsi dan nilai bahasa Indonesia makin
tergerus, terutama oleh kecenderungan pragmatisme yang menjadikan bahasa asing
lebih dominan di ruang-ruang publik.
“Saya sering
memperhatikan di bandara, peringatan tentang barang yang dilarang dibawa
terbang ditulis dalam bahasa Inggris. Padahal, mayoritas penumpangnya adalah
warga negara Indonesia. Ini
menunjukkan rendahnya rasa percaya diri terhadap bahasa kita sendiri,” tegas
Mu’ti. Ia menambahkan bahwa kondisi ini mengindikasikan belum adanya komitmen
kolektif untuk menjadikan bahasa Indonesia sebagai simbol kedaulatan. Oleh
karena itu, penguatan penggunaan bahasa Indonesia harus menjadi perhatian
bersama.
Dalam konteks tersebut, kegiatan konsolidasi ini memiliki arti strategis.
Selain sebagai wadah koordinasi antara pusat dan daerah, forum ini juga menjadi
titik tolak dalam pelaksanaan Permendikdasmen Nomor 2 Tahun 2025 tentang
Pedoman Pengawasan Penggunaan Bahasa Indonesia. Melalui kegiatan ini,
pemerintah berupaya mendorong sinergi lintas sektor untuk mengembalikan bahasa
Indonesia ke posisi yang selayaknya, yaitu sebagai bahasa utama dalam dokumen
resmi, komunikasi kelembagaan, dan ruang publik.
Kepala Badan Pengembangan dan Pembinaan Bahasa, Hafidz Muksin, menegaskan
bahwa pengutamaan bahasa Indonesia merupakan amanat konstitusi dan harus
menjadi perhatian serius tidak hanya oleh pemerintah pusat, tetapi juga oleh
pemerintah daerah. Ia menyebut peran pemerintah daerah sebagai kunci
keberhasilan implementasi pengawasan bahasa Indonesia. Melalui pembentukan tim
pelaksana yang dipimpin Sekretaris Daerah dan didukung oleh unit kerja terkait
di daerah, pengawasan dapat dilakukan secara sistematis melalui kegiatan
sosialisasi, pemantauan, pendampingan, hingga evaluasi.
Hafidz juga menyampaikan bahwa kegiatan ini bertujuan untuk menyamakan
persepsi para pemangku kepentingan, mengoordinasikan langkah-langkah pengawasan
di daerah, serta mendorong terbentuknya komitmen formal melalui surat keputusan
kepala daerah dan penyusunan program kerja yang terstruktur dan berkelanjutan.
Dukungan terhadap penguatan fungsi bahasa Indonesia juga datang dari
Kementerian Dalam Negeri. Direktur Sinkronisasi Urusan Pemerintah Daerah IV,
Paudah, dalam sambutannya menegaskan bahwa bahasa Indonesia adalah simbol
pemersatu dan lambang kedaulatan negara. Ia menekankan bahwa pemerintah daerah
memiliki peran strategis dalam memastikan bahasa Indonesia digunakan secara
benar dan konsisten dalam layanan publik, dokumen resmi, dan komunikasi
kelembagaan.
Kemendagri juga mendorong agar prinsip Trigatra Bangun Bahasa, yaitu “Utamakan
Bahasa Indonesia, Lestarikan Bahasa Daerah, dan Kuasai Bahasa Asing” dijadikan
acuan utama dalam kebijakan kebahasaan di tingkat daerah. Dalam kegiatan yang
dihadiri oleh kepala daerah, sekretaris daerah, kepala dinas pendidikan,
organisasi profesi, dan lembaga kebahasaan tersebut, seluruh pihak menyatakan
komitmennya untuk menjadikan bahasa Indonesia sebagai bahasa utama dalam
kehidupan berbangsa dan bernegara.
Melalui konsolidasi daerah ini, pemerintah berharap lahirnya langkah konkret yang memastikan bahasa Indonesia tidak hanya hidup, tetapi juga berdaulat di tanahnya sendiri. (Devi Virhana)