Kunjungan Universitas Suryakancana Cianjur ke Badan Bahasa

Pada Kamis, 26 Juni 2025, Badan Pengembangan dan Pembinaan Bahasa menerima kunjungan dari Universitas Suryakancana Cianjur di Gedung M. Tabrani, Badan Bahasa, Jakarta. Kunjungan ini diikuti oleh dosen dan mahasiswa dari Program Studi Sastra Inggris, Fakultas Keguruan dan Ilmu Pendidikan dan dimulai pada pukul 08.30 WIB yang dipandu oleh Yukita Camelia Putri. Acara diawali dengan menyanyikan lagu kebangsaan “Indonesia Raya” dan “Mars Badan Bahasa”, kemudian dilanjutkan dengan sambutan dan laporan kegiatan dari Ketua Program Studi Bahasa Inggris FKIP Universitas Suryakancana, Jauhar Helmie, serta sambutan dari perwakilan dari Badan Bahasa. Setelah itu, dilakukan penyerahan cendera mata secara simbolis kepada Jauhar Helmie sebagai bentuk penghormatan dan apresiasi antarlembaga.
Kegiatan utama dalam kunjungan ini adalah pemaparan materi mengenai Uji Kemahiran Berbahasa Indonesia (UKBI) yang disampaikan oleh Triwulandari, Widyabasa dari Badan Bahasa. Dalam paparannya, ia menjelaskan pentingnya pengukuran kemahiran berbahasa Indonesia dalam berbagai bidang, terutama pendidikan, dunia kerja, dan politik. Triwulandari menekankan bahwa UKBI bukan sekadar tes pencapaian, melainkan tes kemahiran umum berbasis kriteria yang dirancang untuk menilai kemampuan penggunaan bahasa Indonesia dalam konteks kehidupan nyata. UKBI memiliki lima seksi utama, yaitu mendengarkan, merespons kaidah, membaca, menulis, dan berbicara. Salah satu poin penting yang disampaikan adalah bahwa jika peuji memperoleh nilai dibawah 251, mereka tidak akan mendapatkan sertifikat, tetapi hanya surat keterangan telah mengikuti tes.
Selain menjelaskan teknis pelaksanaan, Triwulandari juga menegaskan bahwa UKBI dapat menjadi salah satu syarat administratif untuk berbagai kebutuhan, seperti pendamping ijazah, sidang skripsi, kenaikan pangkat, hingga persyaratan kerja profesional. Bahkan, beberapa universitas telah menetapkan UKBI sebagai syarat kelulusan. Saat ini, UKBI dilaksanakan secara daring melalui laman resmi dengan konsep adaptif. Artinya, soal yang diberikan akan menyesuaikan dengan kemampuan peuji selama tes berlangsung. Mahasiswa kurang mampu juga diberikan akses gratis (0 rupiah), sedangkan mahasiswa umum hanya dikenakan tarif Rp100.000. Sejak 2021 hingga 2025, tercatat jumlah peuji UKBI Adaptif telah mencapai lebih dari 1 juta orang dengan mayoritas skor berada pada kategori madya, marginal, dan semenjana. Puncak capaian tertinggi tercatat pada tahun 2024.
Dalam sesi diskusi, beberapa peserta aktif mengajukan pertanyaan. Sayidat mengajukan pertanyaan tentang bagaimana Badan Bahasa menyebarluaskan UKBI kepada masyarakat yang tertinggal atau berada di wilayah 3T (tertinggal, terdepan, terluar). Untuk menjawab hal ini, Triwulandari menyampaikan bahwa Badan Bahasa telah mengupayakan distribusi layanan UKBI melalui Balai Bahasa dan Kantor Bahasa yang tersebar di berbagai daerah di Indonesia. Setiap balai memiliki tanggung jawab untuk melakukan sosialisasi, pelatihan, serta pelaksanaan UKBI sesuai kondisi daerah masing-masing. Ke depan, akan dikembangkan juga sistem dan perangkat yang lebih sederhana agar tes UKBI dapat diakses oleh masyarakat dengan keterbatasan infrastruktur digital sehingga prinsip inklusivitas dan pemerataan layanan tetap terjaga.
Peserta lain, Wardatul Sani, mengangkat dua isu, yaitu apakah kecerdasan buatan (AI) akan menghilangkan profesi penerjemah dan mengapa Jakarta Selatan memiliki jumlah peuji UKBI yang tinggi meskipun banyak penggunanya cenderung memakai bahasa Inggris atau ragam bahasa gaul. Triwulandari menjawab bahwa AI memang berkembang pesat, tetapi belum mampu menggantikan sepenuhnya peran penerjemah manusia. Hal ini dikarenakan AI tidak memiliki dimensi emosi, kepekaan budaya, dan penyesuaian konteks yang mendalam seperti manusia. Penerjemah masih sangat diperlukan, terutama dalam teks sastra, hukum, atau komunikasi resmi. Sementara itu, banyaknya peuji dari Jakarta Selatan disebabkan oleh tingginya minat dari kalangan pelajar dan mahasiswa untuk mengikuti UKBI sebagai bagian dari syarat akademik. Meskipun mereka terbiasa menggunakan bahasa Inggris atau bahasa gaul sehari-hari, ketika mengikuti UKBI, mereka tetap harus menggunakan bahasa Indonesia formal. Hal ini menjadi pembuktian bahwa kemampuan berbahasa Indonesia tetap dibutuhkan, bahkan di wilayah urban yang multibahasa.
Pertanyaan ketiga diajukan oleh Salma Amelia yang mempertanyakan apakah perilaku peuji yang terlalu santai atau bebas saat mengerjakan tes UKBI dapat mengurangi skor. Triwulandari menegaskan bahwa perilaku tersebut tidak akan mempengaruhi nilai secara langsung karena penilaian didasarkan pada hasil pekerjaan peuji. Namun, peserta akan mendapatkan teguran melalui sistem kamera pengawas yang terintegrasi dalam pelaksanaan tes daring. UKBI menekankan etika dan kesopanan selama ujian berlangsung tetap diperhatikan karena selain menilai kemampuan berbahasa, peserta juga diharapkan menunjukkan sikap profesional yang merepresentasikan kedisiplinan dalam mengikuti uji formal.
Pertanyaan keempat datang dari Muhammad Syawal yang menanyakan dua hal, yaitu apakah penggunaan AI dalam pengerjaan UKBI akan mempengaruhi validitas hasi serta apakah UKBI menyediakan versi khusus untuk penyandang disabilitas, seperti peserta tunarungu. Triwulandari menanggapi bahwa sistem UKBI kini telah dilengkapi dengan detektor penggunaan AI, khususnya pada seksi menulis yang dapat mendeteksi jawaban yang diduga memanfaatkan kecerdasan buatan. Jika peserta diketahui menggunakan AI secara tidak sah, sistem secara otomatis dapat menangguhkan hasil tes, bahkan membatalkan sertifikat. Sementara itu, terkait dengan inklusi bagi penyandang disabilitas, Badan Bahasa telah mengembangkan prototipe UKBI untuk peserta tunarungu yang saat ini masih dalam tahap uji coba. Prototipe tersebut diharapkan dapat diluncurkan secara resmi dalam waktu dua tahun ke depan agar pelaksanaan UKBI makin ramah disabilitas.
Setelah sesi tanya jawab selesai, kegiatan ditutup dengan penyerahan hadiah kepada para penanya terpilih yang diberikan langsung Kepala Pusat Pembinaan Bahasa dan Sastra, Imam Budi Utomo. Kemudian, dilanjutkan dengan sesi foto bersama dengan seluruh peserta, dosen pendamping, dan perwakilan Badan Bahasa sebagai bentuk dokumentasi dan penutup acara. Rangkaian kegiatan kunjungan ini secara resmi ditutup oleh pewara yang juga mengucapkan terima kasih atas partisipasi seluruh pihak yang terlibat..(Yukita/Yosi)
Dokumentasi