Resep Bahagia, Buku Kumpulan Sajak Fajrul Alam
Puisi Mbeling
Ketika berbicara
perihal puisi-puisi Fajrul Alam dalam prespektif historis, kita pasti akan teringat
pada fenomena puisi mbeling atau puisi humor yang merebak mulai dari
majalah Aktuil tahun 1970-an. Di situ ada banyak sekali tokohnya,
seperti Remy Silado (yang paling terkenal) dan Yudhistira
A.N.M. Massardi yang kemudian sajak-sajaknya dibukukan dan diberi judul Sajak
Sikat Gigi (1983). Bahkan, fenomena Yudhistira A.N.M. Massardi dengan Sajak
Sikat Gigi sempat ditulis oleh H.B. Jassin tahun 1975 dalam forum puisi
yang diselenggarakan oleh Dewan Kesenian Jakarta. Di samping itu, ada Adri
Darmaji Woko yang juga menulis puisi mbeling sekalipun tidak sebanyak
Remy Sylado dan Yudhistira A.N.M. Massardi. Selain itu, banyak penyair lain yang
menulis puisi mbeling di majalah Aktuil pada periode 1970-an.
Akan
tetapi, yang fenomenal dan sampai sekarang kita kenang karyanya karena menjadi
kumpulan puisi ialah Sajak Sikat Gigi karya Yudhistira A.N.M. Massardi. Mengapa
disebut puisi mbeling atau puisi humor? Karena keluar dari pola pikir (mindset)
penulisan puisi pada periode 1970-an. Waktu itu, mindset puisi yang
menjadi arus utama (mainstream) ialah tradisi lirisisme yang
silsilahnya berasal dari Chairil Anwar, kemudian ada yang dikembangkan oleh
Goenawan Mohamad dalam sajak-sajak Parikesit (1969), ada yang
dikembangkan oleh Sapardi Djoko Damono melalui sajak-sajak Duka-Mu Abadi
(1969), dan ada yang dikembangkan oleh Abdul Hadi W.M. melalui sajak-sajak
awalnya yang kemudian dibukukan dalam Laut Belum Pasang (1971).
Dalam buku
kumpulan sajak Parikesit (1971), Goenawan Mohamad, menulis puisi lirik:
“Di beranda ini angin tak kedengaran lagi/Langit terlepas. Ruang menunggu malam
hari/ Kau berkata: Pergilah sebelum malam tiba/ Kudengar angin mendesak ke arah
kita/....” Estetika sajak tersebut bisa dilacak puitikanya yang dikembangkan
dari sajak “Senja di Pelabuhan Kecil” karya Chairil Anwar. Fenomena
demikian kemudian diteruskan oleh Sapardi Djoko Damono dalam buku puisinya, Dukamu
Abadi (1969), tentu saja dengan variasi-variasi pencapaian pengucapan puisi
yang kemudian kita kenal sebagai puisi imajis. Demikian pula yang dilakukan
oleh Abdul Hadi W.M. dalam Laut Belum Pasang (1971). Tradisi lirisisme
ini bisa diklaim berakar dari situ, dari perpuisian Chairil Anwar.
Katakanlah,
hal tersebut sebagai sesuatu yang dianggap mainstream. Sementara itu,
orang-orang muda pada saat itu ingin melakukan pencapaian estetika yang lain, sebagaimana
Sutardji Calzoum Bachri yang melakukan dekonstruksi estetika puisi dengan cara menghidupkan
kembali nuansa mantra. Bahkan, Sutardji Calzoum Bachri mempunyai
kredo tentang hal itu yang dapat kita lacak jejaknya dalam buku puisi O Amuk
Kapak (1981) yang diterbitkan oleh Sinar Harapan. Semula tiga kumpulan
sajak itu terbit secara terpisah pada awal tahun 1970-an. Kemudian, tiga
kumpulan sajak Sutardji Calzoum Bachri itu disatukan menjadi O Amuk Kapak.
Fenomena
konvensi dan inovasi dalam sejarah sastra, wabilkhusus sejarah puisi, merupakan
fenomena yang wajar, lumrah. Bukanlah hanya puisi mbeling itu saja. Ada yang
berusaha melakukan pendobrakan dengan warna lokal dan dengan versi lainnya, seperti
yang ditampilkan Linus Suryadi AG dengan prosa lirik yang berjudul Pengakuan
Pariyem (1981). Ada juga yang multilingualisme, dalam sajak-sajak Darmanto
Jatman, seorang guru besar psikologi sekaligus sastrawan penyair. Dia meramu
puisi yang bahasanya gado-gado, dikumpulkan dalam buku puisi berjudul Bangsat
(1975). Itu yang pertama. Buku yang kedua berjudul Karto Iyo Bilang
Mboten (1981). Dalam buku puisi tersebut terdapat bahasa Inggris, Jawa, Belanda,
dan Perancis. Campur aduk. Sebagai introduction, konvensi dan inovasi
itu selalu gayung bersambut dalam sejarah sastra.
Kita kembali pada persoalan bagaimana melakukan dekonstruksi terhadap kemapanan tradisi lirisisme dalam perpuisian Indonesia di jalur puisi humor dan mbeling. Sebetulnya, kalau membaca karya-karya Remy Sylado, kita akan menemukan prespektif bahwa dalam menulis puisi itu, yang lucu ialah menertawakan bagaimana orang-orang tua (dalam sastra Indonesia) menulis puisi dan dipleset-plesetkan. Hal ini terungkap terutama dalam majalah Aktuil. Akan tetapi, kemunculan sajak-sajak Yudhistira A.N.M. Massardi yang dibukukan dalam Sajak Sikat Gigi (1977), yang kemudian dipilih sebagai buku puisi terbaik 1976-1977, bukanlah semacam perpuisian Remy Sylado saja yang dimaksudkan sebagai puisi mbeling, bukan pula semacam stand up comedy, yang memarodikan konvensi perpuisisan Indonesia. Akan tetapi, puisi mbeling kemudian berusaha untuk menggunakan bahasa keseharian dalam prespektif yang lain, yaitu melihat dunia dari aspek humornya. Demikian, misalnya, potongan sajak “Biarin” dalam buku Sajak Sikat Gigi (1983:58) sebagai berikut.
kamu bilang hidup ini brengsek. Aku bilang biarin
kamu bilang hidup ini nggak punya arti. Aku bilang biarin
kamu bilang aku nggak punya kepribadian. Aku bilang biarin
kamu bilang aku nggak punya pengertian. Aku bilang biarin
....
Puisi itu
kurang lebih sedang merefleksikan anak muda yang cuek. “Yo ben to, biarin
to.” Pada tiap lapis zaman tentu ditemukan model-model semacam itu. Oleh
karena itu, ada juga film yang dirilis dengan judul “Yo Wes Ben”.
Nah, Sajak Sikat Gigi itu mampu memberikan suatu refleksi terhadap
fenomena dan budaya anak-anak muda dalam bentuk puisi. Antara Remy Silado dan
Yudhistira A.N.M. itu ada kesamaan. Pertama, mereka ingin keluar dari mindset
mainstream perpuisian Indonesia kala itu. Kedua, mereka ingin
memandang bahwa dunia itu biasa-biasa saja, “Ora usah serius-sering sih
ngapa?”. Begitulah kiranya bagi bahasa orang Banyumasan.
Mbeling itu perlawanan mereka terhadap arus utama. Mereka melawan arus kemapanan. Mereka tidak mau didikte oleh filosofi-filosofi, baik filosofi yang dalam hal ini ke-Jawa-an maupun filosofi yang bersifat keagamaan. Mereka keluar dari itu semua dalam perpuisiannya. Kurang lebih demikian spirit dari puisi mbeling yang saya pahami. Tentang puisi mbeling ini, pernah saya tulis dan terbit di rubrik artikel laman Badan Pengembangan dan Pembinaan Bahasa sekaligus saya cantumkan dalam buku Dinamika Puisi Indonesia (Penerbit Basabasi, 2023).
Mbeling: Kesantrian dan
Perpuisian
Pada sajak-sajak
Fajrul Alam yang diterbitkan dengan judul Resep Bahagia (2025) ini, ada
yang mengatakan bahwa perpuisian Fajrul Alam mengingatkan pada puisi mendiang
Joko Pinurbo (Jokpin). Dalam hal ini saya tidak sepakat. Benar bahwa pencapaian
untuk melakukan inovasi itu dilakukan oleh anak muda yang bernama Fajrul Alam,
yakni dengan menggunakan bahasa sajak yang sederhana. Akan tetapi, kesederhanaannya
itu dapat dicurigai karena dia memang belum begitu khatam terhadap sejarah
puisi Indonesia. Dia tidak pernah mengenyam kuliah Progran Studi Sastra
Indonesia. Mungkin juga Fajrul Alam membaca perpuisian Joko Pinurbo, tetapi
tidak mengambil semua puitikanya. Mengapa? Karena Fajrul Alam adalah alumni
Fakultas Tarbiyah dan Ilmu Kependidikan UIN Prof. K.H. Saifuddin Zuhri Purwokerto,
Pendidikan Bahasa Arab. Boleh jadi, dia belum khatam detail perpuisian
Indonesia. Boleh jadi, dia hanya mengambil nuansa dari perpuisisn Jokpin saja.
Di
samping itu, Joko Pinurbo memang terkenal. Jadi, mungkin saja Fajrul Alam juga berkeinginan
untuk terkenal. Mungkin dalam benaknya ada pikiran demikian,“Wah, Joko Pinurbo
itu dikagumi anak-anak muda. Kalau penyair lain, yang serius-serius itu, ‘kan enggak
pernah dikagumi anak-anak muda. Kalau begitu aku mau nulis puisi seperti
Joko Pinurbo yang dikagumi anak-anak muda aja.” Saya kira pandangan demikian
disebabkan aspek kesantrian seorang Fajrul Alam yang merasa bosan menjadi orang
serius sebagai seorang santri.
Fajrul
Alam dilahirkan di Kebumen, 15 Februari 2001. Puisi karyanya dimuat di media
nasional dan Asean: Suara Merdeka, Kedaulatan Rakyat, Suara Sarawak, Majalah
Karas (Balai Bahasa Jawa Tengah), Kandaga (Balai Bahasa Banten),
Pakubasa (Balai Bahasa Jawa Barat), dan Majalah Pusat (Badan Pengembangan
dan Pembinaan Bahasa).
Ada tiga
aspek utama yang melatarbelakangi Fajrul Alam dalam menulis puisi dengan gaya
bahasa “yang serupa, tetapi tak sama” dengan perpuisian Joko Pinurbo. Pertama,
aspek eksternal puisi, Fajrul Alam ingin dikagumi layaknya Joko Pinurbo.
Biasanya orang-orang yang lahir dari dunia santri itu “mbeling-mbeling”.
Spirit untuk melakukan dekonstruksi itu muncul karena dia adalah seorang santri
dengan kesederhanaan dan ke-mbeling-annya. Akan tetapi, mbeling-nya
seorang santri tidaklah menyimpang, tetapi hanya menyamping saja. Kedua,
Fajrul Alam ingin keluar dari mainstream estetika lirisisme perpuisian
Indonesia juga. Kedua aspek tersebut merupakan kreativitas ke-mbeling-annya
sebagai seorang santri. Sekali lagi, dia tidak berani menyimpang, tetapi hanya
menyamping saja.
Ketiga, hal ini yang memiliki
relasi dengan perpuisian seorang Fajrul Alam, “Hidup ini adalah jalan menuju
Allah Swt. Hidup ini ialah wasilah menuju Allah Swt. Hidup ini untuk
beribadah kepada Allah Swt. Kalau begitu, ngapain dipikir terlalu sepaneng/serius.”
Misalnya, tidak sepaneng-nya Fajrul Alam, di antaranya, ialah banyak
orang seusianya yang sudah punya cewek/pacar cantik. Sementara itu, dirinya
masih jomlo. Dia berpikiran bahwa untuk semua dan segalanya sudah ada Yang Maha
Mengatur, sudah ada jatahnya masing-masing.
Kesantrian
dialah yang mewujudkan prespektif kesederhanaan bahwa hidup ini sebetulnya illa
liya’budun, kecuali untuk beribadah kepada Allah. “Aku tidak
menciptakan jin dan manusia melainkan agar mereka beribadah kepada-Ku”
(Az-Zariyat:56). Dalam perspektif ini, apa pun itu menjadi biasa-biasa saja
sebab yang nomor satu tetaplah bagaimana dia bertakwa kepada Allah Swt. Sekarang
kita refleksikan dalam puisinya yang berjudul “Pengabdian” ini.
PENGABDIAN
Pengabdian adalah geliat dedaunan
yang menuruti sepoi angin
dengan tekun dan rajin
Berayun-ayun ke kanan ke kiri
membersamai desir
memekik sunyi
Meski terasa peluh
Daun tak sekalipun mengeluh
Apalagi menghardik semilir angin
Purwokerto, Mei 2023
Santri
itu, dalam hal ini Fajrul Alam, taat kepada gurunya dan kiainya, tetapi (sekaligus)
pemberontak pertama kepada gurunya (guru puisinya). Itu berarti bahwa dia
memberontak kepada Abdul Wachid B.S. Sajak-sajak yang saya tulis serius semua,
sedangkan Fajrul Alam tidak mau menulis sajak yang sama gaya ungkap bahasanya. Oleh
karena itu, dia lebih memilih Joko Pinurbo, yang agak jauh, yang bukan gurunya.
Dia ta’dzim kepada para gurunya, tetapi sekaligus memberontak. Nuansa
demikian itu dia dapatkan karena dimensi kesantriannya yang unik sebagai
pandangan dunia atau pandangan hidup (weltanschauung).
Dalam keseharian di Lembaga Kajian Nusantara Raya (LK Nura) UIN Prof. K.H. Saifuddin Zuhri Purwokerto, Fajrul Alam banyak duduk berdiskusi bersama saya dan dia banyak membaca buku-buku puisi saya di tongkrongan mahasiswa ini. Akan tetapi, dia tidak menyukai nuansa puisi saya. Fajrul Alam lebih menyukai nuansa puisi Joko Pinurbo. Hal itulah pemberontakan pertamanya. Sebenarnya puisi saya juga sederhana, tetapi dalam hal isi atau pemikiran mungkin terlalu serius bagi Fajrul Alam. Sementara itu, kesederhanaan perpuisian Jokpin itu tidaklah demikian. Alam bawah sadar seorang Fajrul Alam itu, ketika puisinya keluar dari mindset puisi Abdul Wachid B.S., dimuat di media massa dan dia bangga sekali. Sebagai contoh, kesederhanaan perpuisian Fajrul Alam tampak pada sajak berjudul “Nasi Kucing” berikut ini.
NASI KUCING
Kucing tak
suka nasi
Tapi dirinya
bersyukur berkali-kali
sanggup
mewakili sebungkus nasi
yang
ditelisik
ditelusuri
dicari-cari
di
angkringan di malam hari
untuk
melerai hati
Nasi kucing
dan Angkringan
tak sudi
datang di siang terang
Melainkan di
pekat malam
yang suntuk
oleh kangen beserta kenangan
Katanya,
supaya manusia
Sehat
batinnya seraya kuat senyumnya
Purwokerto, April 2021
Beda Perspektif
dengan Puisi Jokpin
Kesederhanaan
bahasa puisi tampak begitu jelas dalam sajak di atas. Sajak tersebut
mengungkapkan bahwa bagaimana menyukuri sebutir nasi, jangan sampai sebutir
nasi ini tersia-siakan. Tidak ada aku-lirik dalam sajak tersebut. Sekalipun
berusaha melakukan pemberontakan bahasa, Fajrul Alam melakukannya dengan aturan
dan kelembutan-kelembutan prespektif hidup. Religiositasnya dihadirkan dalam wujud
bahwa Allah Swt. itu lebih mewakili kedirian femininitas-Nya daripada
maskulinitas-Nya. Saya membaca sajak-sajak Fajrul Alam dan memang begitu. Dalam
artian, dia memandang bahwa realitas itu lembut. Realitas yang ada di dalam
puisi Fajrul Alam itu mirip dengan cara pandang perpuisian Gus Mus (K.H. A.
Mustofa Bisri), K.H. D. Zawawi Imron, dan Acep Zamzam Noor, yaitu dunia memang
harus indah karena sesungguhnya Allah itu indah dan Dia menyukai keindahan (innallaha
Jamilun Yuhibbul Jamal). Silakan baca puisi Fajrul Alam dalam
kumpulan sajak Resep Bahagia ini.
Karena
puisi adalah cara pandang penyair terhadap realitas, hal itu tidak bisa
dibuat-buat/direkayasa. Cara pandang itu akan berpengaruh terhadap gaya ungkap bahasa
sajak Fajrul Alam dengan pemaknaan kesantrian dari tiga aspek tadi. Bagaimana Fajrul
Alam melakukan ke-mbeling-an berontak terhadap kemapanan lirisisme dan
lebih memilih nuansa “enjoy” sebagaimana puisi Jokpin, tetapi prespektifnya
tidak sama dengan prespektif Jokpin? Mengapa demikian? Karena dia memandang
realitas itu dengan perspektif innallaha Jamilun
Yuhibbul Jamal.
Ke-mbeling-an
dia terlebih pada aspek gaya ungkap bahasa sajak, tetapi cara berpikirnya punya
sanad dan rawi kepada “Sesungguhnya Allah itu Indah dan Dia
menyukai keindahan.” Di satu sisi dia melakukan pemberontakan dari aspek dhahiriyah/luar.
Namun, dari aspek bathiniyah/dalam, dia memapankan tradisi pemahaman
terhadap realitas yang Ilahiah. Realitas merupakan representasi dari Allah Swt,
“Tidak ada Tuhan kecuali Allah” (laa ilaaha illa-Llaah) dan dia maknai
dengan “Tidak ada suatu realitas pun jika itu tidak berhubungan dengan Allah”. Puisi
Fajrul Alam berpandangan melalui nilai ketauhidan. Oleh karena itu, di dalam
puisinya dan kehidupannya, mana ada yang menyimpang? Fajrul Alam itu seorang
santri. Sekalipun ngrasani gurunya (termasuk guru puisinya) pada saat
berjumpa, dia tetap mencium tangan mereka.
Pemahaman perspektif dalam puisi Fajrul Alam itu adalah komedi. Saya teringat Gus Dur. Gus Dur menganggap dunia itu lucu, sebagaimana pernyataannya, “Tidak ada jabatan di dunia ini yang perlu dipertahankan mati-matian.” Perspektif Fajrul Alam sama dengan perspektif tersebut. Jangan terjebak pada penggunaan bahasa yang sederhana di dalam sajaknya. Dia menggunakan bahasa sajak yang bersahaja sekaligus berperspektif humoris. Hal ini bukan berarti menyepelekan. Banyak hal yang penting dalam hidup ini, tetapi semua urat-nadi kehidupan diniatkan untuk beribadah kepada Allah. Hal itu dilakukan karena Huwal-awwalu wal-?khiru wa?-??hiru wal-b??in, wa huwa bikulli syai`in 'al?m “Dialah Yang Awal dan Yang Akhir Yang Zhahir dan Yang Bathin; dan Dia Maha Mengetahui segala sesuatu” (Al-Hadid: 3).
“Dari Kegelapan
Menuju Cahaya”
Apakah perspektif
demikian dalam ekspresi sastra menjadi membosankan? Bagi sebagian orang, mungkin
saja, mereka beranggapan, “Hidup sekali di dunia, sedikit-sedikitlah mencicipi
kegelapan.” Akan tetapi, Fajrul Alam dalam bersastra tidak berani memilih perspektif
itu. Andai imajinasi dia “ke sana”, paling-paling posisinya seperti Joni
Ariadinata penulis Lampor (1993). Joni Ariadinata “melihat cahaya dari
kegelapan”. Target akhirnya bukan melihat kegelapan itu sendiri, melainkan cahaya.
Sebagaimana Ahmad Tohari ketika mengakhiri trilogi novel Ronggeng Dukuh
Paruk (1982), Rasus dalam hatinya berjanji akan membawa Dukuh Paruk disinari
oleh Sang Maha Cahaya. Habiburrahman El Shirazy melalui Ayat-ayat Cinta
(2004) menceritakan lambang-lambang kehidupan cinta yang dicahayai oleh iman
Islam yang ihsan. Semua itu menggambarkan proses hidup orang-orang beriman yang
dibimbing Allah dari kegelapan menuju cahaya (minadzulumati ilan nur,
Al-Baqarah: 257). Bagi orang yang berperspektif estetisme selainnya, boleh
jadi itu stereotipe sehingga membosankan.
“Dari
kegelapan menuju cahaya” itu sendiri mengandung proses, tidaklah serta-merta
“tiba-tiba”, “mendadak”, apalagi memaksa pembacaan terhadap kehidupan (dalam
karya sastra). Hal itu tidak melalui proses nalar, akal budi manusia. Jika
demikian, di dalam sastra ada istilah deus ex machina, yaitu perangkat
sastra yang digunakan penulis untuk menyelesaikan cerita di luar nalar dan akal
budi cerita. Dengan begitu, tidak perlu khawatir akan pelabelan stereotipe
yang diberikan oleh “perspektif sebelah”.
“Dari kegelapan menuju cahaya” menjadi Fajrul bagi Alam sebagaimana makna dari nama penyair ini dan menjadi pandangan dunia Fajrul Alam dalam kumpulan sajak Resep Bahagia ini. Judulnya layaknya resep, anti mainstream, judul yang dihindari oleh kebanyakan penyair sebab terkesan pengajaran, pelajaran, dan instruksi. Namun, setelah membaca langsung sajak-sajak dalam Resep Bahagia hingga selesai, tanpa menggurui, mereka memberikan ruang untuk membaca dan memikirkan hidup, kehidupan, dan Sang Pemberi Hidup dan Kehidupan. Itulah literasi yang sebenarnya, cinta.

Abdul Wachid B.S
...