Membaca Berita dari Puisi Karya Penyair Indonesia

Pada bab pertama buku Bilang Begini Maksudnya Begitu (2017) karya Sapardi Djoko Damono, saya membaca puisi yang berjudul “Sajak berdasarkan Sebuah Berita di Koran” karya Manuel Bandeira asal Brazil. Puisi yang mengadopsi berita itu mengingatkan saya pada bab kredibilitas informasi dalam sebuah karya. Sapardi dalam bukunya mengatakan bahwa konon sebuah berita adalah fakta, sedangkan cerita adalah fiksi; berita itu “nyata” dan fiksi hanya “angan-angan” (Damono, 2017). Namun, kalau kita periksa lebih cermat, puisi berangkat dari sebuah realitas yang ditangkap oleh si penyair, baik berkaitan dengan realitas sosial, emosional, maupun spiritual. Oleh sebab itu, kredibilitas informasi dalam sebuah puisi tetap menjadi ruang bangun yang layak diperhitungkan.

 

Membaca Pesan Puisi melalui Peristiwa

Peristiwa yang ditulis dalam berita dipengaruhi oleh sudut pandang tentang peristiwa itu sendiri. Orang lain dapat menuliskannya kembali menjadi karya sastra yang berbeda. Hal itu sama halnya dengan yang disampaikan Sapardi, “Tidak ada seorang pun yang memiliki pandangan yang persis sama dengan orang lain.”

Banyak tulisan penyair Indonesia yang melibatkan peristiwa dalam berita. Puisi berjudul “Tentang Sersan Nurkholis” karya Taufiq Ismail ini dapat diambil sebagai contoh.

seorang sersan

kakinya hilang

sepuluh tahun yang lalu

 

setiap siang

terdengar siulnya

di bengkel arloji

 

sekali datang

teman-temannya

sudah orang resmi

 

dengan senyum ditolaknya

kartu anggota

bekas pejuang

 

sersan Nurkholis

kakinya hilang

di zaman Revolusi

 

setiap siang

terdengar siulnya

di bengkel arloji

 

Puisi karya Taufiq Ismail tersebut berisi kisah sehingga sering disebut dengan puisi naratif, yakni puisi yang mengisahkan cerita atau berita. Peristiwa dalam puisi itu juga dikisahkan dengan jelas, yakni seorang sersan yang kakinya hilang pada zaman revolusi. Namun, puisi tersebut sedikit membebani kita dalam berbagai penafsiran sebab di dalamnya tidak disebutkan penyebab hilangnya kaki seorang sersan. Puisi itu menyebutkan // dengan senyum ditolaknya / kartu anggota/ bebas pejuang // yang di dalamnya dikisahkan hilangnya kaki si sersan bisa saja disebabkan pertempuran.

Biasanya puisi diikuti pengalaman, ideologi, dan sudut pandang si penyair. Sementara itu, berita menceritakan fakta sehingga tidak mengungkap secara mendetail apa yang dirasakan seseorang ketika mengalami sebuah peristiwa. Tentu saja ada semacam penghubung antara penyair, puisi, dan pembaca. Pemaknaan itulah yang kemudian lahir sebagai penafsiran makna dan simbol dalam puisi. Dalam ilmu komunikasi, hal itu disebut sebagai komunikasi atau penyampaian pesan oleh penyair kepada pembaca melalui puisi.

Dalam dialog digambarkan pengetahuan dan gagasan penyair yang disampaikan melalui puisi dengan berbagai bahasa yang mengikatnya. Namun, tidak jarang pembaca kesulitan memaknai sebuah puisi. Kita tahu bahwa puisi yang ditulis Taufiq Ismail didasarkan pada peristiwa seorang sersan yang kakinya hilang pada zaman revolusi. Di samping itu, puisi tersebut menekankan ideologi dan wacana yang dibangun oleh si penyair untuk menegaskan pesan dalam puisinya. Misalnya, kisah perjuangan si sersan yang melakukan pengabdian kepada negaranya menyebabkan dirinya kehilangan kaki. Akan tetapi, ada hal yang lebih melegakan karena si sersan telah berdamai dengan kondisi dan peristiwa yang menimpanya yang ditandai dengan // setiap siang / terdengar siulnya / di bengkel arloji //.

Puisi ini membimbing kita untuk menghadapi peristiwa memilukan dengan upaya menerima kondisi yang ada. Sekalipun dikisahkan si sersan menjadi buruh di bengkel arloji, simbol dari aksen siul menggambarkan kedamaian atas penerimaan kondisi dan situasi saat itu. Puisi ini tidak lantas dituliskan dengan bahasa-bahasa keluhan dan ratapan. Barangkali itulah “pesan” yang coba disampaikan Taufiq Ismail dalam puisi berjudul “Tentang Sersan Nurkholis”.

 

Perbedaan Penyair dan Wartawan

Dapat dikatakan bahwa puisi Taufiq Ismail berbunyi seperti semacam laporan jurnalistik, seperti laporan wartawan dalam mengulas peristiwa yang terjadi. Berkaitan dengan hal itu, Sapardi dengan tegas mengatakan bahwa seandainya ditulis dalam bahasa pers, berita itu akan tetap menjadi berita. Namun, karena ditulis dalam bentuk syair, itu menjadi cerita. Berita memiliki kecenderungan cepat basi, cerita tidak (Damono, 2017). Meskipun demikian, definisi mengenai puisi diperlukan. Jonathan Culler, seorang kritikus sastra Amerika, merumuskan,“Poetry is language that makes abundant use of figure of speech and language that aims to be powerfully persuasive. (Mahayana, 2022). Culler mendefinisikan bahwa puisi bertujuan memberi persuasi sebagaimana yang telah diketahui bahwa konsep ini sama halnya dengan iklan dan/atau berita pada media yang mengantongi unsur propaganda.

Rumusan ini mengisyaratkan pentingnya bahasa dalam puisi. Pemaknaan subjektif dalam sebuah bahasa diletakkan pada ranah kualitatif, yakni permainan peran, kesatuan, ketegangan, dan logika berpikir yang melebur dalam objektivitas puisi. Hal itu senada dengan yang disampaikan Maman S. Mahayana yang menyebut bahwa para penyair Pujangga Baru melibatkan sukma, jiwa, nurani, dan suara hati paling dalam karena di sanalah Tuhan bertahta (Mahayana, 2022).

Penguasaan bahasa juga memiliki peran yang tidak kalah penting. Kesadaran penyair dalam menganalisis peranan sosial dan mengambil realitas tertentu tidak terlepas dari tujuan memberi kehidupan. Saya menyebut bahwa penyair mengelola kreativitasnya dari memburu, menerima, dan mencipta, alih-alih hanya menunggu ilham datang kepadanya.

Sampai di sini saya berupaya merumuskan dominasi, peran, dan praktik kerja kreativitas penciptaan puisi. Melalui analisis terkait dengan energi potensial dalam memenuhi hasrat penciptaan puisi, saya menemukan beberapa hal dasar yang coba saya kaitkan dan rumuskan relevansinya dengan pemahaman mengenai suasana atau apa pun yang dihadirkannya.

1)      Konsep Baca-Tulis

Konsep ini saya katakan sebagai sikap memburu dan menemukan konsep diri. Membaca juga dapat dimaknai sebagai penangkapan peristiwa dalam berita. Dalam menulis puisi membaca juga berkaitan dengan penangkapan realitas.

2)      Keterlibatan Bahasa

Dalam puisi kita dapat menemukan larik panjang yang menyerupai prosa. Namun, kebebasan ini tidak ditemukan pada berita, khususnya di koran. Tentu saja berita menyampaikan peristiwa dengan lebih lugas tanpa melakukan pengulangan kata yang tidak efektif. Di samping itu, berita memiliki tata penulisan yang lebih sistematis; tidak memiliki susunan kata yang menjadi larik atau bait-bait.

Berkaitan dengan wujud visual, tubuh puisi memiliki karakteristiknya, yakni (1) kesatuan (unity) yang terbangun pada struktur formal atau bersatupadunya segenap unsur bahasa dalam bentuk puisi; (2) hadirnya konflik (conflict) atau disebut juga sebagai kesatuan dramatik (dramatic unity) yang tercipta berdasarkan keselarasan dan harmoni atas peran yang dimainkan segenap unsur yang membangun puisi, termasuk di dalamnya tegangan (tension), kesatuan logis (logical unity), dan struktur formal; serta (3) sikap (attitudes) penyair yang melesapkan dan meleburkan diri ke dalam objek puisinya. Pemahaman tersebut kemudian menentukan kualitas penyair dalam pengelolaan metafora, simbol, paradoks, ironi, imaji, dan sarana puisi lainnya (Mahayana, 2022).

Profesi wartawan jelas terikat dengan kode etik jurnalistik dan kaidah profesi. Namun, wartawan selayaknya tidak hanya berpegang pada kaidah teknis peliputan dan kaidah yuridis. Mereka juga harus memperhatikan kaidah etis dan kaidah sosiologis. Berita yang diproduksi wartawan juga harus disertai uji informasi yang tidak memihak kepentingan tertentu, akurat, dan tidak bertentangan dengan norma, baik sosial maupun agama (Sumadiria, 2019).

Sapardi juga menyinggung perbedaan antara berita dan puisi. Berita tidak mengungkapkan apa yang ada di kepala orang ketika mengalami peristiwa, kecuali orang itu berkenan menjelaskan sendiri perasaannya. Namun, dalam konteks penciptaan puisi, penyair menciptakan pengisah sehingga penyair dapat masuk ke dalam pikiran orang. Artinya, apa yang dijelaskan puisi itu bukan pikiran si tokoh, melainkan sepenuhnya pikiran pengisah tentang tokoh yang diceritakannya melalui puisi (Damono, 2017).

Saya mencoba memberikan gambaran yang lebih sederhana dengan mengadopsi pertanyaan retorik Sapardi, “Bukankah pengisah itu tokoh yang diciptakan penyair?” Apakah yang disampaikan pengisah menjadi inti pikiran penyair? Saya sepakat untuk menyebutnya sindiran atau disebut irony dalam bahasa Inggris. Sindiran ini digunakan penyair sebagai pendekatan untuk menyampaikan pesan dan berkomunikasi dengan pembaca. Puisi yang mirip berita memerlukan pengolahan bahasa dan tanda baca untuk membedakan puisi dan berita. Mungkin itulah yang orang sebut stilistika.

 

Puisi Bergaya Reportase

Dalam khazanah perlambangan, kita menemukan berbagai macam jenis dan gaya puisi. Telah disinggung pada bagian pertama yang disebut puisi naratif. Penyair kita banyak menuliskan puisi dengan jenis semacam itu, yakni berisi kisah atau cerita. Contohnya adalah puisi karya Taufiq Ismail yang berjudul “Tentang Sersan Nurkholis”. Selain itu, ada puisi “Pidato di Kubur Orang” karya Subagio Sastrowardoyo yang disebut Sapardi menyerupai berita. Mengapa demikian? Dalam puisi itu penyair tidak melibatkan perbandingan yang muluk-muluk dalam bentuk metafora, tetapi menggunakan bahasa lugas.

Untuk menguatkan pembahasan ini, kiranya saya perlu menyinggung Linda Djalil, seorang wartawan yang menuliskan kumpulan puisi jurnalistik berjudul Cintaku Lewat Kripik Balado (Djalil, 2011). Ia pernah menjadi wartawan di Tempo dan Gatra selama 23 tahun serta pernah bertugas di Istana Presiden untuk meliput kegiatan kepresidenan Indonesia selama 9 tahun. Perempuan berdarah Minang ini memberikan pemahaman kepada kita bahwa membaca berita dari puisi itu dapat dibuktikan.

 Saya kutip saja selengkapnya salah satu puisi dalam bukunya yang berjudul “Ayah, Ampera Raya Banjir Darah!”.

Ayah,

Ampera Raya banjir darah!

manakala orang usai menjalankan sholatnya

dan ibu-ibu menyiapkan panganan untuk anaknya pulang

sekolah

dan tukang es kelapa menyusun dagangannya di pojok jalan

 

Ayah,

Ampera Raya banjir darah!

bergulir dari depan kantor pengadilan

sampai ke depan pagar rumahmu yang dulu

rumah ayah yang asri cantik bagai rumah bidadari

kebun terhampar hijau pepohonan rimbun di sudut halaman

dengan dua macam pohon rambutan yang manisnya alangkah

kepalang

segala tanaman apik rumput tebal di luar bagai karpet persia

yang ada di dalam

yang tak pernah terusik oleh ramainya jalan di luar pagar

 

Ayah,

Ampera Raya banjir darah!

saat nurani manusia sudah menjadi berbelang-belang

saat hati sudah dilumuri oleh baja besi kuat tak tersentuh

kelembutan

saat jiwa bergolak amarah tiba di ujung ubun-ubun kepala

matilah tiga nyawa sia-sia

dengan anggota badan yang juga ditebas melayang percuma

dan terkapar

menjadi pajangan di tengah jalan

tontonan sadis yang mengocok perut menjadi amat mual

karena seonggok daging yang berasesori warna merah semerah

merahnya

 

Ayah,

untunglah kau sudah lama tak mengenal lagi isi negeri ini

ke mana-mana urusan luapan emosi meresap sampai kulit

kepala

dari sudut kota di seberang lautan sampai akhirnya ke Jakarta

Selatan

lalu Ampera Raya menjadi sasaran

 

Ayah,

tak akan kau percaya Ampera Raya yang dulu rimbun

penuh jajanan sedap dari warung gado-gadi ibu Mul

sampai si nenek penjaja es kelapa yang bening warnanya

juga si Kubil penjaja koran berambut ikal bertubuh gempal

yang tiap pagi menapak Ampera

kemarin suasana damai ini telah diperkosa oleh gerak tubuh

barbar

berkumpul setan garang hati gundah nafsu tak terkendali

jiwa melayang seakan-akan adalah hak bagi orang yang

melenyapkan

 

Ayah,

Ampera Raya banjir darah!

membuat banyak orang ternganga

tak kuasa untuk menahan tumpahan dukanya air mata

seakan tak percaya pembantaian bisa berlangsung dengan amat

mudahnya

di mana kini segala ketentraman

perih

dan hari yang penuh nanah

mata yang menatap nanar

semua merah. merah.

hanya itu yang ada kemarin di Ampera Raya

jalan panjang di negeri yang namanya Indonesia Raya yang

sudah sejak lama merdeka

 

1 Oktober 2010

 

Puisi “Ayah, Ampera Raya Banjir Darah!” menggambarkan konflik di Jalan Ampera Raya, Jakarta Selatan pada akhir 2010. Lokasi konflik itu dekat dengan kediaman Linda Djalil. Sekali lagi kita dihadapkan pada proses kreatif penciptaan puisi yang melibatkan kemampuan jurnalistik seseorang untuk menggambarkan sebuah peristiwa.

Rupanya puisi bergaya reportase itu cukup mencuri perhatian Taufiq Ismail yang menilai bahwa puisi Linda Djalil berlatar keluarga. Itu merupakan respons terhadap masyarakat dan hubungan dengan Tuhan. “Ibarat ukiran puisi, Linda Djalil sudah jelas sosoknya, namun perlu dipahat dan diampelas lebih lama, direnungkan lebih jauh. Ketekunan Linda Djalil patut dipuji,” katanya (Amirullah, 2011).

Saya tidak akan memohon untuk kita menilai unsur stilistika dan berupaya membanding-bandingkan kepenyairan Linda Djalil dengan penyair Indonesia lainnya. Ciri yang menonjol tersebut menjadikan puisi “Ayah, Ampera Raya Banjir Darah!” bentuk puisi bergaya reportase. Di dalamnya kita dapat menemukan 5W+1H sebagai unsur sebuah berita. Sekalipun puisi melibatkan bahasa simbol, saya kira tidak sulit bagi kita menemukan unsur-unsur berita di dalamnya. Misalnya, dapat kita temukan unsur what (apa) yang ditulis dalam kalimat ini, // Ayah / Ampera Raya banjir darah! / membuat banyak orang ternganga / tak kuasa untuk menahan tumpahan dukanya air mata / seakan tak percaya pembantaian bisa berlangsung dengan amat / mudahnya //.

Unsur what (apa) dalam puisi ini menegaskan peristiwa kerusuhan di Ampera Raya yang kemudian dianalogikan dengan kata pembantaian dan kalimat Ampera Raya banjir darah!. Penyair menggambarkan peristiwa yang terjadi di Ampera Raya dengan cukup tegas dengan disertai aksen tanda seru (!). Si penyair juga menyiratkan perasaan dengan melibatkan tokoh Ayah sebagai rekaan, pendekatan untuk menyentuh pembaca.

Sudah disinggung sebelumnya bahwa penyair dapat masuk ke dalam pikiran orang. Bayang-bayang penyair melibatkan beberapa tokoh untuk memenuhi unsur who (siapa). Sebut saja tokoh Ayah, ibu-ibu, tukang es kelapa, ibu Mul, si Nenek, dan Kubil. Namun, konteks unsur who (siapa) dalam berita umumnya merujuk pada pelaku dan korban. Puisi ini pun turut mengambil bagian dengan memberikan gambaran pelaku, // kemarin suasana damai ini telah diperkosa oleh gerak tubuh / barbar / berkumpul setan garang hati gundah nafsu tak terkendali / jiwa melayang seakan-akan adalah hak bagi orang yang / melenyapkan //.

Identifikasi korban dalam puisi ini juga digambarkan dengan jelas, // matilah tiga nyawa sia-sia/ dengan anggota badan yang juga ditebas melayang percuma / dan terkapar/ menjadi pajangan di tengah jalan / tontonan sadis yang mengocok perut menjadi amat mual / karena seonggok daging yang berasesori warna merah semerah/ merahnya //. Selain para pedagang yang digambarkan menjadi korban, digambarkan pula suasana damai yang menjadi tontonan sadis. Peristiwa Ampera Raya juga memakan korban dengan ditegaskannya melalui, “Matilah tiga nyawa sia-sia.” Pelaku dalam puisi ini digambarkan dengan analogi, yakniGerak tubuh barbar.” Memang tidak disebutkan berapa jumlah pelaku, tetapi dengan penegasan “pembantaian” dan “berkumpul setan garang hati gundah nafsu tak terkendali,” puisi ini telah menggarisbawahi bahwa pelaku ialah sekelompok orang.

Unsur when (kapan) juga kerap menimbulkan pertanyaan terkait dengan sebuah peristiwa, selain titimangsa puisi ini yang tercatat pada 1 Oktober 2010. Pada bait pertama puisi ini disebutkan // Ayah / Ampera Raya banjir darah! / manakala orang usai menjalankan sholatnya / dan ibu-ibu menyiapkan panganan untuk anaknya pulang / sekolah / dan tukang es kelapa menyusun dagangannya di pojok jalan //. Hal itu menggambarkan bahwa peristiwa Ampera Raya itu terjadi pada siang hari, menjelang anak-anak pulang sekolah.

Penggambaran unsur where (di mana) dalam puisi ini ditegaskan dengan kata //Ampera Raya banjir darah! / bergulir dari depan kantor pengadilan / sampai ke depan pagar rumahmu yang dulu //. Kemudian, hal itu ditegaskan lagi dengan // dari sudut kota di seberang lautan sampai akhirnya ke Jakarta / Selatan / lalu Ampera Raya menjadi Sasaran//. Bagian lainnya yang juga tak kalah penting ialah // hanya itu yang ada kemarin di Ampera Raya / jalan panjang di negeri yang namanya Indonesia Raya //.

Penggalan puisi ini memberikan gambaran yang jelas kepada kita. Peristiwa ini terjadi di Jalan Ampera Raya, tepatnya di sekitar depan kantor pengadilan Jakarta Selatan, Indonesia. Situasi yang melandasi terjadinya peristiwa biasanya ditegaskan dengan unsur why (mengapa) dalam berita, // saat nurani manusia sudah menjadi berbelang-belang / saat hati sudah dilumuri oleh baja besi kuat tak tersentuh / kelembutan //.

Puisi ini menganalogikan bahwa terjadinya peristiwa Ampera Raya disebabkan oleh nurani manusia yang dipenuhi nafsu amarah dan tak tersentuh kelembutan. Lebih jelasnya, pada bagian berkumpul setan garang hati gundah nafsu tak terkendali unsur how (bagaimana) sekali lagi menjadi puncak peristiwa Ampera Raya, tepatnya pada bait pertama, // Ayah/  Ampera Raya banjir darah! / manakala orang usai menjalankan sholatnya / dan ibu-ibu menyiapkan panganan untuk anaknya pulang / sekolah / dan tukang es kelapa menyusun dagangannya di pojok jalan //. Kemudian, pada bait ketiga, // Ayah / Ampera Raya banjir darah! / saat nurani manusia sudah menjadi berbelang-belang / saat hati sudah dilumuri oleh baja besi kuat tak tersentuh / kelembutan / saat jiwa bergolak amarah tiba di ujung ubun-ubun kepala / matilah tiga nyawa sia-sia / dengan anggota badan yang juga ditebas melayang percuma / dan terkapar / menjadi pajangan di tengah jalan / tontonan sadis yang mengocok perut menjadi amat mual / karena seonggok daging yang berasesori warna merah semerah / merahnya //.

Pada berita, unsur how (bagaimana) menjelaskan cara sebuah peristiwa terjadi. Puisi ini cukup memberikan kita gambaran tentang (1) terjadi kerusuhan dan pembantaian di Ampera Raya; (2) peristiwa terjadi pada siang hari; (3) peristiwa disebabkan oleh nurani manusia yang dipenuhi nafsu amarah dan tak tersentuh kelembutan; (4) peristiwa memakan tiga korban; (5) korban tewas disebabkan sabetan senjata tajam (ditebas); dan (6) tubuh korban bercucuran darah. Oleh sebab itu, saya katakan bahwa puisi bergaya reportase ini ditulis dengan unsur 5W+1H yang menyerupai berita. Memang benar puisi ini masih menggunakan pengulangan kata. Mungkin saja itulah yang membedakan puisi ini dengan berita. Linda Djalil pun menuliskannya dalam buku kumpulan puisi, bukan sebuah laman berita.

.

Penutup

Peristiwa yang melandasi proses kreatif penyair kita itu unik sebab itu dikembangkan melalui gagasan dan sudut pandang yang membesarkannya. Contohnya adalah peristiwa dalam berita yang menjadi sangat dominan sebagai alat penciptaan puisi. Kita bayangkan bahwa sebagai anggota masyarakat, penyair menuliskan banyak peristiwa sosial, ekonomi, politik, agama, cinta, kemanusiaan, budaya, dan lain-lain. Kalaupun itu dianggap menguping peristiwa dari berita, puisi-puisi itu tetap memiliki penghayatan untuk menyampaikan pesan. Tentu penghayatan itu sifatnya beragam sesuai dengan kemampuan kita menerjemahkan karya sastra. Dengan demikian, kita perlu menempuh berbagai cara untuk menentukan pendekatan sebagai pembaca.

 

Daftar Pustaka

Amirullah. (2011). "Kalau Puisi Ditulis dengan Gaya Jurnalistik". Diakses dari Tempo.Co. https://gaya.tempo.co/read/342882/kalau-puisi-ditulis-dengan-gaya-jurnalistik.

Damono, S.D. (2017). Bilang Begini Maksudnya Begitu. PT Gramedia Pustaka Utama.

Djalil, L. (2011). Cintaku Lewat Kripik Balado. Penerbit Buku Kompas.

Mahayana, M. S. 2022. Sihir Mantra: Antara Sakralitas dan Profanitas (Cetakan pertama). DIVA Press.

Sumadiria, H. 2019. Hukum dan Etika Media Massa Panduan Pers, Penyiaran, dan Media Siber. Simbiosa Rekatama Media.

Yusuf, M. 2022. "Meningkatkan Kemampuan Menulis Puisi Menggunakan Teks Berita Siswa Kelas X IPA 3 SMA Negeri 1 Banjarmasin Tahun Pelajaran 2020/2021". Stilistika: Jurnal Bahasa, Sastra, dan Pengajarannya, 7(1), 1–16. https://doi.org/10.33654/sti.v7i1.1739.

Efen Nurfiana

Efen Nurfiana. Karya-karyanya termuat dalam beberapa antologi, media online dan koran, seperti Badan Bahasa, Basabasi.co, Sastramedia.com, SIP Publishing, Pikiran Rakyat, Suara Merdeka, dan lainnya. Selain itu, karyanya terdokumentasi dalam kumpulan sajak Dadamu Serumpun Pohon (Wadas Kelir Publisher, 2023), Gus Mus dan Simbolisme Feminin (Wadas Kelir Publisher, 2023).

Sedang Tren

Ingin mengetahui lebih lanjut?

Kunjungi media sosial Badan Pengembangan dan Pembinaan Bahasa