Membaca Berita dari Puisi Karya Penyair Indonesia
Pada bab pertama buku Bilang Begini Maksudnya Begitu (2017) karya
Sapardi Djoko Damono, saya membaca puisi yang berjudul “Sajak berdasarkan Sebuah
Berita di Koran” karya Manuel Bandeira asal Brazil. Puisi yang mengadopsi
berita itu mengingatkan saya pada bab kredibilitas informasi dalam sebuah
karya. Sapardi dalam bukunya mengatakan bahwa konon sebuah berita adalah fakta,
sedangkan cerita adalah fiksi; berita itu “nyata” dan fiksi hanya “angan-angan”
(Damono, 2017). Namun, kalau kita periksa lebih cermat, puisi berangkat
dari sebuah realitas yang ditangkap oleh si penyair, baik berkaitan dengan
realitas sosial, emosional, maupun spiritual. Oleh sebab itu, kredibilitas
informasi dalam sebuah puisi tetap menjadi ruang bangun yang layak
diperhitungkan.
Membaca Pesan Puisi melalui Peristiwa
Peristiwa yang ditulis dalam berita dipengaruhi oleh sudut pandang tentang
peristiwa itu sendiri. Orang lain dapat menuliskannya kembali menjadi karya
sastra yang berbeda. Hal itu sama halnya dengan yang disampaikan Sapardi, “Tidak
ada seorang pun yang memiliki pandangan yang persis sama dengan orang lain.”
Banyak tulisan penyair Indonesia yang melibatkan peristiwa dalam berita. Puisi
berjudul “Tentang Sersan Nurkholis” karya Taufiq Ismail ini dapat diambil
sebagai contoh.
seorang sersan
kakinya hilang
sepuluh tahun yang lalu
setiap siang
terdengar siulnya
di bengkel arloji
sekali datang
teman-temannya
sudah orang resmi
dengan senyum ditolaknya
kartu anggota
bekas pejuang
sersan Nurkholis
kakinya hilang
di zaman Revolusi
setiap siang
terdengar siulnya
di bengkel arloji
Puisi karya Taufiq Ismail tersebut berisi kisah sehingga sering disebut
dengan puisi naratif, yakni puisi yang mengisahkan cerita atau berita.
Peristiwa dalam puisi itu juga dikisahkan dengan jelas, yakni seorang sersan
yang kakinya hilang pada zaman revolusi. Namun, puisi tersebut sedikit
membebani kita dalam berbagai penafsiran sebab di dalamnya tidak disebutkan
penyebab hilangnya kaki seorang sersan. Puisi itu menyebutkan // dengan
senyum ditolaknya / kartu anggota/ bebas pejuang // yang di dalamnya dikisahkan
hilangnya kaki si sersan bisa saja disebabkan pertempuran.
Biasanya puisi diikuti pengalaman, ideologi, dan sudut pandang si penyair.
Sementara itu, berita menceritakan fakta sehingga tidak mengungkap secara mendetail
apa yang dirasakan seseorang ketika mengalami sebuah peristiwa. Tentu saja ada
semacam penghubung antara penyair, puisi, dan pembaca. Pemaknaan itulah yang
kemudian lahir sebagai penafsiran makna dan simbol dalam puisi. Dalam ilmu
komunikasi, hal itu disebut sebagai komunikasi atau penyampaian pesan
oleh penyair kepada pembaca melalui puisi.
Dalam dialog digambarkan pengetahuan dan gagasan penyair yang
disampaikan melalui puisi dengan berbagai bahasa yang mengikatnya. Namun, tidak
jarang pembaca kesulitan memaknai sebuah puisi. Kita tahu bahwa puisi yang
ditulis Taufiq Ismail didasarkan pada peristiwa seorang sersan yang kakinya
hilang pada zaman revolusi. Di samping itu, puisi tersebut menekankan ideologi
dan wacana yang dibangun oleh si penyair untuk menegaskan pesan dalam
puisinya. Misalnya, kisah perjuangan si sersan yang melakukan pengabdian kepada
negaranya menyebabkan dirinya kehilangan kaki. Akan tetapi, ada hal yang lebih
melegakan karena si sersan telah berdamai dengan kondisi dan peristiwa yang
menimpanya yang ditandai dengan // setiap siang / terdengar siulnya / di
bengkel arloji //.
Puisi ini membimbing kita untuk menghadapi peristiwa memilukan dengan
upaya menerima kondisi yang ada. Sekalipun dikisahkan si sersan menjadi buruh
di bengkel arloji, simbol dari aksen siul menggambarkan kedamaian atas
penerimaan kondisi dan situasi saat itu. Puisi ini tidak lantas dituliskan
dengan bahasa-bahasa keluhan dan ratapan. Barangkali itulah “pesan” yang coba
disampaikan Taufiq Ismail dalam puisi berjudul “Tentang Sersan Nurkholis”.
Perbedaan Penyair dan Wartawan
Dapat dikatakan bahwa puisi Taufiq Ismail berbunyi seperti semacam laporan
jurnalistik, seperti laporan wartawan dalam mengulas peristiwa yang terjadi. Berkaitan
dengan hal itu, Sapardi dengan tegas mengatakan bahwa seandainya ditulis dalam
bahasa pers, berita itu akan tetap menjadi berita. Namun, karena ditulis dalam
bentuk syair, itu menjadi cerita. Berita memiliki kecenderungan cepat basi,
cerita tidak (Damono, 2017). Meskipun demikian, definisi mengenai puisi diperlukan. Jonathan Culler, seorang
kritikus sastra Amerika, merumuskan,“Poetry is language that makes abundant use of figure of
speech and language that aims to be powerfully persuasive.” (Mahayana, 2022). Culler mendefinisikan bahwa puisi bertujuan memberi
persuasi sebagaimana yang telah diketahui bahwa konsep ini sama halnya dengan
iklan dan/atau berita pada media yang mengantongi unsur propaganda.
Rumusan ini mengisyaratkan pentingnya bahasa dalam puisi. Pemaknaan subjektif dalam
sebuah bahasa diletakkan pada ranah kualitatif, yakni permainan peran,
kesatuan, ketegangan, dan logika berpikir yang melebur dalam objektivitas
puisi. Hal itu senada dengan yang disampaikan Maman S. Mahayana yang menyebut bahwa
para penyair Pujangga Baru melibatkan sukma, jiwa, nurani, dan suara hati
paling dalam karena di sanalah Tuhan bertahta (Mahayana, 2022).
Penguasaan bahasa juga memiliki peran yang tidak kalah penting. Kesadaran penyair
dalam menganalisis peranan sosial dan mengambil realitas tertentu tidak
terlepas dari tujuan memberi kehidupan. Saya menyebut bahwa penyair mengelola
kreativitasnya dari memburu, menerima, dan mencipta, alih-alih hanya menunggu ilham
datang kepadanya.
Sampai di sini saya berupaya merumuskan dominasi, peran, dan praktik kerja
kreativitas penciptaan puisi. Melalui analisis terkait dengan energi potensial
dalam memenuhi hasrat penciptaan puisi, saya menemukan beberapa hal dasar yang
coba saya kaitkan dan rumuskan relevansinya dengan pemahaman mengenai suasana
atau apa pun yang dihadirkannya.
1) Konsep Baca-Tulis
Konsep ini saya katakan sebagai sikap memburu dan
menemukan konsep diri. Membaca juga dapat dimaknai sebagai penangkapan
peristiwa dalam berita. Dalam menulis puisi membaca juga berkaitan dengan
penangkapan realitas.
2)
Keterlibatan Bahasa
Dalam puisi kita dapat menemukan larik panjang yang menyerupai prosa. Namun,
kebebasan ini tidak ditemukan pada berita, khususnya di koran. Tentu saja
berita menyampaikan peristiwa dengan lebih lugas tanpa melakukan pengulangan
kata yang tidak efektif. Di samping itu, berita memiliki tata penulisan yang
lebih sistematis; tidak memiliki susunan kata yang menjadi larik atau
bait-bait.
Berkaitan dengan wujud visual, tubuh puisi memiliki karakteristiknya,
yakni (1) kesatuan (unity) yang terbangun pada struktur formal atau
bersatupadunya segenap unsur bahasa dalam bentuk puisi; (2) hadirnya konflik (conflict)
atau disebut juga sebagai kesatuan dramatik (dramatic unity) yang
tercipta berdasarkan keselarasan dan harmoni atas peran yang dimainkan segenap
unsur yang membangun puisi, termasuk di dalamnya tegangan (tension),
kesatuan logis (logical unity), dan struktur formal; serta (3) sikap (attitudes)
penyair yang melesapkan dan meleburkan diri ke dalam objek puisinya. Pemahaman tersebut
kemudian menentukan kualitas penyair dalam pengelolaan metafora, simbol,
paradoks, ironi, imaji, dan sarana puisi lainnya (Mahayana, 2022).
Profesi wartawan jelas terikat dengan kode etik jurnalistik dan kaidah profesi. Namun,
wartawan selayaknya tidak hanya berpegang pada kaidah teknis peliputan dan
kaidah yuridis. Mereka juga harus memperhatikan kaidah etis dan kaidah
sosiologis. Berita yang diproduksi wartawan juga harus disertai uji informasi
yang tidak memihak kepentingan tertentu, akurat, dan tidak bertentangan dengan
norma, baik sosial maupun agama (Sumadiria, 2019).
Sapardi juga menyinggung perbedaan antara berita dan puisi. Berita tidak
mengungkapkan apa yang ada di kepala orang ketika mengalami peristiwa, kecuali
orang itu berkenan menjelaskan sendiri perasaannya. Namun, dalam konteks
penciptaan puisi, penyair menciptakan pengisah sehingga penyair dapat masuk ke
dalam pikiran orang. Artinya, apa yang dijelaskan puisi itu bukan pikiran si
tokoh, melainkan sepenuhnya pikiran pengisah tentang tokoh yang diceritakannya
melalui puisi (Damono, 2017).
Saya mencoba memberikan gambaran yang lebih sederhana dengan mengadopsi
pertanyaan retorik Sapardi, “Bukankah pengisah itu tokoh yang diciptakan
penyair?” Apakah yang disampaikan pengisah menjadi inti pikiran penyair? Saya
sepakat untuk menyebutnya sindiran atau disebut irony dalam bahasa
Inggris. Sindiran ini digunakan penyair sebagai pendekatan untuk menyampaikan
pesan dan berkomunikasi dengan pembaca. Puisi yang mirip berita memerlukan
pengolahan bahasa dan tanda baca untuk membedakan puisi dan berita. Mungkin
itulah yang orang sebut stilistika.
Puisi Bergaya Reportase
Dalam khazanah perlambangan, kita menemukan berbagai macam jenis dan gaya
puisi. Telah disinggung pada bagian pertama yang disebut puisi naratif. Penyair
kita banyak menuliskan puisi dengan jenis semacam itu, yakni berisi kisah atau
cerita. Contohnya adalah puisi karya Taufiq Ismail yang berjudul “Tentang
Sersan Nurkholis”. Selain itu, ada puisi “Pidato di Kubur Orang” karya
Subagio Sastrowardoyo yang disebut Sapardi menyerupai berita. Mengapa demikian?
Dalam puisi itu penyair tidak melibatkan perbandingan yang muluk-muluk dalam
bentuk metafora, tetapi menggunakan bahasa lugas.
Untuk menguatkan pembahasan ini, kiranya saya perlu menyinggung Linda
Djalil, seorang wartawan yang menuliskan kumpulan puisi jurnalistik berjudul Cintaku
Lewat Kripik Balado (Djalil, 2011). Ia pernah menjadi wartawan di Tempo dan Gatra
selama 23 tahun serta pernah bertugas di Istana Presiden untuk meliput kegiatan
kepresidenan Indonesia selama 9 tahun. Perempuan berdarah Minang ini memberikan
pemahaman kepada kita bahwa membaca berita dari puisi itu dapat dibuktikan.
Saya kutip saja selengkapnya salah satu puisi dalam bukunya yang
berjudul “Ayah, Ampera Raya Banjir Darah!”.
Ayah,
Ampera Raya banjir darah!
manakala orang usai
menjalankan sholatnya
dan ibu-ibu menyiapkan
panganan untuk anaknya pulang
sekolah
dan tukang es kelapa menyusun
dagangannya di pojok jalan
Ayah,
Ampera Raya banjir darah!
bergulir dari depan kantor
pengadilan
sampai ke depan pagar rumahmu
yang dulu
rumah ayah yang asri cantik
bagai rumah bidadari
kebun terhampar hijau
pepohonan rimbun di sudut halaman
dengan dua macam pohon
rambutan yang manisnya alangkah
kepalang
segala tanaman apik rumput
tebal di luar bagai karpet persia
yang ada di dalam
yang tak pernah terusik oleh
ramainya jalan di luar pagar
Ayah,
Ampera Raya banjir darah!
saat nurani manusia sudah
menjadi berbelang-belang
saat hati sudah dilumuri oleh
baja besi kuat tak tersentuh
kelembutan
saat jiwa bergolak amarah
tiba di ujung ubun-ubun kepala
matilah tiga nyawa sia-sia
dengan anggota badan yang
juga ditebas melayang percuma
dan terkapar
menjadi pajangan di tengah
jalan
tontonan sadis yang mengocok
perut menjadi amat mual
karena seonggok daging yang
berasesori warna merah semerah
merahnya
Ayah,
untunglah kau sudah lama tak
mengenal lagi isi negeri ini
ke mana-mana urusan luapan
emosi meresap sampai kulit
kepala
dari sudut kota di seberang
lautan sampai akhirnya ke Jakarta
Selatan
lalu Ampera Raya menjadi sasaran
Ayah,
tak akan kau percaya Ampera
Raya yang dulu rimbun
penuh jajanan sedap dari
warung gado-gadi ibu Mul
sampai si nenek penjaja es
kelapa yang bening warnanya
juga si Kubil penjaja koran
berambut ikal bertubuh gempal
yang tiap pagi menapak Ampera
kemarin suasana damai ini
telah diperkosa oleh gerak tubuh
barbar
berkumpul setan garang hati
gundah nafsu tak terkendali
jiwa melayang seakan-akan
adalah hak bagi orang yang
melenyapkan
Ayah,
Ampera Raya banjir darah!
membuat banyak orang
ternganga
tak kuasa untuk menahan
tumpahan dukanya air mata
seakan tak percaya
pembantaian bisa berlangsung dengan amat
mudahnya
di mana kini segala
ketentraman
perih
dan hari yang penuh nanah
mata yang menatap nanar
semua merah. merah.
hanya itu yang ada kemarin di
Ampera Raya
jalan panjang di negeri yang
namanya Indonesia Raya yang
sudah sejak lama merdeka
1 Oktober 2010
Puisi “Ayah, Ampera Raya Banjir Darah!” menggambarkan konflik di Jalan
Ampera Raya, Jakarta Selatan pada akhir 2010. Lokasi konflik itu dekat dengan
kediaman Linda Djalil. Sekali lagi kita dihadapkan pada proses kreatif penciptaan
puisi yang melibatkan kemampuan jurnalistik seseorang untuk menggambarkan sebuah
peristiwa.
Rupanya puisi bergaya reportase itu cukup mencuri perhatian Taufiq Ismail
yang menilai bahwa puisi Linda Djalil berlatar keluarga. Itu merupakan respons
terhadap masyarakat dan hubungan dengan Tuhan. “Ibarat ukiran puisi, Linda
Djalil sudah jelas sosoknya, namun perlu dipahat dan diampelas lebih lama,
direnungkan lebih jauh. Ketekunan Linda Djalil patut dipuji,” katanya (Amirullah, 2011).
Saya tidak akan memohon untuk kita menilai unsur stilistika dan berupaya
membanding-bandingkan kepenyairan Linda Djalil dengan penyair Indonesia
lainnya. Ciri yang menonjol tersebut menjadikan puisi “Ayah, Ampera Raya
Banjir Darah!” bentuk puisi bergaya reportase. Di dalamnya kita dapat menemukan
5W+1H sebagai unsur sebuah berita. Sekalipun puisi melibatkan bahasa simbol,
saya kira tidak sulit bagi kita menemukan unsur-unsur berita di dalamnya. Misalnya,
dapat kita temukan unsur what (apa) yang ditulis dalam kalimat ini, //
Ayah / Ampera Raya banjir darah! / membuat banyak orang ternganga / tak kuasa
untuk menahan tumpahan dukanya air mata / seakan tak percaya pembantaian bisa
berlangsung dengan amat / mudahnya //.
Unsur what (apa) dalam puisi ini menegaskan peristiwa kerusuhan di
Ampera Raya yang kemudian dianalogikan dengan kata pembantaian dan kalimat
Ampera Raya banjir darah!. Penyair menggambarkan peristiwa yang terjadi
di Ampera Raya dengan cukup tegas dengan disertai aksen tanda seru (!). Si
penyair juga menyiratkan perasaan dengan melibatkan tokoh Ayah sebagai rekaan,
pendekatan untuk menyentuh pembaca.
Sudah disinggung sebelumnya bahwa penyair dapat masuk ke dalam pikiran
orang. Bayang-bayang penyair melibatkan beberapa tokoh untuk memenuhi unsur who
(siapa). Sebut saja tokoh Ayah, ibu-ibu, tukang es kelapa,
ibu Mul, si Nenek, dan Kubil. Namun, konteks unsur who
(siapa) dalam berita umumnya merujuk pada pelaku dan korban. Puisi ini pun
turut mengambil bagian dengan memberikan gambaran pelaku, // kemarin suasana
damai ini telah diperkosa oleh gerak tubuh / barbar / berkumpul setan garang
hati gundah nafsu tak terkendali / jiwa melayang seakan-akan adalah hak bagi
orang yang / melenyapkan //.
Identifikasi korban dalam puisi ini juga digambarkan dengan jelas, // matilah
tiga nyawa sia-sia/ dengan anggota badan yang juga ditebas melayang percuma /
dan terkapar/ menjadi pajangan di tengah jalan / tontonan sadis yang mengocok
perut menjadi amat mual / karena seonggok daging yang berasesori warna merah
semerah/ merahnya //. Selain para pedagang yang digambarkan menjadi korban,
digambarkan pula suasana damai yang menjadi tontonan sadis.
Peristiwa Ampera Raya juga memakan korban dengan ditegaskannya melalui, “Matilah
tiga nyawa sia-sia.” Pelaku dalam puisi ini digambarkan dengan analogi, yakni “Gerak tubuh barbar.” Memang
tidak disebutkan berapa jumlah pelaku, tetapi dengan penegasan “pembantaian”
dan “berkumpul setan garang hati gundah nafsu tak terkendali,” puisi ini telah
menggarisbawahi bahwa pelaku ialah sekelompok orang.
Unsur when (kapan) juga kerap menimbulkan pertanyaan terkait dengan
sebuah peristiwa, selain titimangsa puisi ini yang tercatat pada 1 Oktober
2010. Pada bait pertama puisi ini disebutkan // Ayah / Ampera Raya banjir
darah! / manakala orang usai menjalankan sholatnya / dan ibu-ibu menyiapkan
panganan untuk anaknya pulang / sekolah / dan tukang es kelapa menyusun
dagangannya di pojok jalan //. Hal itu menggambarkan bahwa peristiwa Ampera
Raya itu terjadi pada siang hari, menjelang anak-anak pulang sekolah.
Penggambaran unsur where (di mana) dalam puisi ini ditegaskan
dengan kata //Ampera Raya banjir darah! / bergulir dari depan kantor
pengadilan / sampai ke depan pagar rumahmu yang dulu //. Kemudian, hal itu
ditegaskan lagi dengan // dari sudut kota di seberang lautan sampai akhirnya
ke Jakarta / Selatan / lalu Ampera Raya menjadi Sasaran//. Bagian lainnya
yang juga tak kalah penting ialah // hanya itu yang ada kemarin di Ampera
Raya / jalan panjang di negeri yang namanya Indonesia Raya //.
Penggalan puisi ini memberikan gambaran yang jelas kepada kita. Peristiwa
ini terjadi di Jalan Ampera Raya, tepatnya di sekitar depan kantor pengadilan
Jakarta Selatan, Indonesia. Situasi yang melandasi terjadinya peristiwa
biasanya ditegaskan dengan unsur why (mengapa) dalam berita, // saat
nurani manusia sudah menjadi berbelang-belang / saat hati sudah dilumuri oleh
baja besi kuat tak tersentuh / kelembutan //.
Puisi ini menganalogikan bahwa terjadinya peristiwa Ampera Raya disebabkan
oleh nurani manusia yang dipenuhi nafsu amarah dan tak tersentuh kelembutan.
Lebih jelasnya, pada bagian berkumpul setan garang hati gundah nafsu tak
terkendali unsur how (bagaimana) sekali lagi menjadi puncak
peristiwa Ampera Raya, tepatnya pada bait pertama, // Ayah/ Ampera Raya banjir darah! / manakala orang
usai menjalankan sholatnya / dan ibu-ibu menyiapkan panganan untuk anaknya
pulang / sekolah / dan tukang es kelapa menyusun dagangannya di pojok jalan //.
Kemudian, pada bait ketiga, // Ayah / Ampera Raya banjir darah! / saat
nurani manusia sudah menjadi berbelang-belang / saat hati sudah dilumuri oleh
baja besi kuat tak tersentuh / kelembutan / saat jiwa bergolak amarah tiba di
ujung ubun-ubun kepala / matilah tiga nyawa sia-sia / dengan anggota badan yang
juga ditebas melayang percuma / dan terkapar / menjadi pajangan di tengah jalan
/ tontonan sadis yang mengocok perut menjadi amat mual / karena seonggok daging
yang berasesori warna merah semerah / merahnya //.
Pada berita, unsur how (bagaimana) menjelaskan cara sebuah peristiwa terjadi.
Puisi ini cukup memberikan kita gambaran tentang (1) terjadi kerusuhan dan pembantaian
di Ampera Raya; (2) peristiwa terjadi pada siang hari; (3) peristiwa disebabkan
oleh nurani manusia yang dipenuhi nafsu amarah dan tak tersentuh kelembutan;
(4) peristiwa memakan tiga korban; (5) korban tewas disebabkan sabetan senjata
tajam (ditebas); dan (6) tubuh korban bercucuran darah. Oleh sebab itu, saya
katakan bahwa puisi bergaya reportase ini ditulis dengan unsur 5W+1H yang
menyerupai berita. Memang benar puisi ini masih menggunakan pengulangan kata. Mungkin
saja itulah yang membedakan puisi ini dengan berita. Linda Djalil pun menuliskannya
dalam buku kumpulan puisi, bukan sebuah laman berita.
.
Penutup
Peristiwa yang melandasi proses kreatif penyair kita itu unik sebab itu
dikembangkan melalui gagasan dan sudut pandang yang membesarkannya. Contohnya
adalah peristiwa dalam berita yang menjadi sangat dominan sebagai alat
penciptaan puisi. Kita bayangkan bahwa sebagai anggota masyarakat, penyair
menuliskan banyak peristiwa sosial, ekonomi, politik, agama, cinta,
kemanusiaan, budaya, dan lain-lain. Kalaupun itu dianggap menguping peristiwa dari berita,
puisi-puisi itu tetap memiliki penghayatan untuk menyampaikan pesan. Tentu
penghayatan itu sifatnya beragam sesuai dengan kemampuan kita menerjemahkan
karya sastra. Dengan demikian, kita perlu menempuh berbagai cara untuk
menentukan pendekatan sebagai pembaca.
Daftar Pustaka
Amirullah. (2011). "Kalau Puisi Ditulis dengan Gaya
Jurnalistik". Diakses dari Tempo.Co.
https://gaya.tempo.co/read/342882/kalau-puisi-ditulis-dengan-gaya-jurnalistik.
Damono, S.D. (2017). Bilang Begini
Maksudnya Begitu. PT Gramedia Pustaka Utama.
Djalil, L. (2011). Cintaku Lewat
Kripik Balado. Penerbit Buku Kompas.
Mahayana, M. S. 2022. Sihir Mantra:
Antara Sakralitas dan Profanitas (Cetakan pertama). DIVA Press.
Sumadiria, H. 2019. Hukum dan Etika
Media Massa Panduan Pers, Penyiaran, dan Media Siber. Simbiosa Rekatama
Media.
Yusuf, M. 2022. "Meningkatkan Kemampuan Menulis Puisi
Menggunakan Teks Berita Siswa Kelas X IPA 3 SMA Negeri 1 Banjarmasin Tahun Pelajaran
2020/2021". Stilistika: Jurnal Bahasa, Sastra, dan Pengajarannya, 7(1), 1–16.
https://doi.org/10.33654/sti.v7i1.1739.

Efen Nurfiana
Efen Nurfiana. Karya-karyanya termuat dalam beberapa antologi, media online dan koran, seperti Badan Bahasa, Basabasi.co, Sastramedia.com, SIP Publishing, Pikiran Rakyat, Suara Merdeka, dan lainnya. Selain itu, karyanya terdokumentasi dalam kumpulan sajak Dadamu Serumpun Pohon (Wadas Kelir Publisher, 2023), Gus Mus dan Simbolisme Feminin (Wadas Kelir Publisher, 2023).