Refleksi Motivasi Bersekolah di Stovia
Salah satu aspek menarik yang disajikan dalam novel Romansa STOVIA karya Sania Rasyid yang terbit pertama kali pada Mei 2024 oleh penerbit kepustakaan populer Gramedia adalah motivasi bersekolah di STOVIA pada tokoh utama. Motivasi termasuk dalam ranah psikologi, tetapi proses dinamikanya tidak dapat dilepaskan dari konteks sosial, terutama keluarga dan masyarakat. Untuk itu, bahasan yang akan dikaji dalam tulisan ini adalah problematika psikologis dan sosial dalam motivasi tokoh utama yang bersekolah di STOVIA.
Sebelum masuk ke kajian, saya ingin merefleksikan diri terlebih dahulu. Tentu saja refleksi tersebut terkait dengan motivasi saya bersekolah selama ini. Saya akan katakan bahwa satu-satunya putusan saya bersekolah karena pilihan saya sendiri adalah saat duduk di bangku sekolah dasar. Putusan itu pun terjadi karena sekolah pilihan saya adalah satu-satunya sekolah yang paling dekat dengan rumah. Tentu saja motivasi itu muncul sangat pragmatis karena pada usia kanak-kanak saat itu, saya tidak tahu mana sekolah yang bagus dan tidak bagus. Selanjutnya, sekolah saya dari bangku menengah hingga perguruan tinggi merupakan pilihan orang lain, bukan pilihan saya sendiri.
Saat harus masuk ke sekolah menengah, baik pertama maupun atas, sekolah tersebut merupakan pilihan orang tua saya dengan alasan itu adalah sekolah yang terbaik. Saya sebenarnya sudah mempunyai pilihan, tetapi saya tidak berdaya. Saya pun patuh terhadap pilihan orang tua. Saat akan memasuki perguruan tinggi pun demikian. Saya diminta menjadi guru saja, padahal cita-cita saya adalah menjadi petani. Mau tidak mau, saya pun menuruti perintah orang tua untuk berkuliah di perguruan tinggi yang terdapat jurusan pendidikan guru. Saat melanjutkan program magister dan doktor pun demikian. Saya diajak dosen dan teman saya. Padahal, saya tidak yakin, tetapi dosen dan teman saya meyakinkan saya. Apa boleh buat. Saya pun mengikuti pilihan dosen dan teman saya itu.
Dari sini saya merefleksikan diri bahwa konteks sosial, yaitu keluarga dan pertemanan telah mengintervensi hidup saya. Kalaupun saya dikatakan sukses dalam pendidikan hingga S-3, itu semata-mata bukan karena personalitas saya. Akan tetapi, hal itu terjadi karena pengaruh sosial yang mengarahkan saya. Konteks sosial ini tidak dapat diabaikan karena itu berperan penting dalam membentuk keberhasilan seseorang dalam dunia pendidikan (Soekanto, 2018). Pertanyaannya adalah mengapa hal itu dapat terjadi? Persoalan itu juga muncul dalam diri tokoh-tokoh dalam novel Romansa STOVIA karya Sania Rasyid. Motivasi tokoh utama bersekolah di STOVIA tidak dapat dilepaskan dari konteks sosial dan budaya (Ratna, 2019). Untuk itu, persoalan motivasi bersekolah ini menarik untuk dikaji karena memiliki akar kontekstual dengan persoalan sekolah saat ini.
Membaca Data
Data motivasi ini dapat dibaca pada empat tokoh utama sebagai pusat pencerita. Empat tokoh terpelajar tersebut bersekolah di STOVIA dan kemudian bersahabat erat. Keempat tokoh itu adalah Yansen dari Manado, Hilman dari Bandung, Arsan dari Bukittinggi, dan Sudiro dari Purworejo. Selain itu, terdapat dua tokoh penyempurna, yaitu Vicentius dan Andreas. Keenam tokoh itu datang dan bersekolah di STOVIA di angkatan dan kelas yang sama. Motivasi mereka dalam bersekolah juga sama, yaitu motivasi yang bersumber dari lanskap sosial dan keluarga (Rasyid, 2024).
Pertama, motivasi sekolah di STOVIA muncul karena pilihan orang tua. Itu berarti bahwa orang tua dalam konteks keluarga telah mengondisikan dan mendesain anak-anaknya untuk menjadi dokter. Anak-anak pun kemudian disuruh, bahkan dipaksa untuk bersekolah di STOVIA karena harapan orang tua agar anaknya menjadi dokter. Profesi dokter dianggap dapat membuat anak-anak memiliki kedudukan sosial tinggi sehingga memartabatkan keluarga dalam konteks sosial (Goode, 2018). Hal itu dapat dipahami karena keluarga mereka adalah keluarga terhormat, priyayi, dan ningrat yang ingin terus menjaga dan meningkatkan kehormatannya. Salah satu caranya adalah dengan menyekolahkan anak-anaknya di STOVIA agar menjadi dokter. Motivasi bersekolah karena orang tua atau keluarga ini dialami pada tokoh utama Yansen (hlm. 22), Sudiro (hlm. 22-23), dan Hilman (hlm. 75 & 82).
Kedua, motivasi masuk sekolah di STOVIA muncul karena kepentingan pragmatis yang berlatar budaya atau pragmatisme budaya. Kepentingan pragmatis yang bersumber dari keuntungan personal karena konteks budaya masyarakat yang melegitimasi. Motivasi bersekolah ini dialami pada Arsan (hlm. 93). Arsan bersekolah di STOVIA karena adanya motivasi untuk menaikkan harga dirinya sebagai lelaki dalam konteks keluarga Minangkabau. Konteks sosial budaya Minangkabau memosisikan anak laki-laki memiliki kedudukan yang tinggi, salah satunya kedudukan dalam pernikahan. Hal itu dapat dibaca pada tradisi perempuan yang harus meminang laki-laki. Untuk itu, Arsan dan keluarganya meyakini bahwa makin tinggi pendidikannya, makin tinggi harga pinangannya. Apalagi, jika pendidikan tinggi itu ditempuh di STOVIA, hal itu akan membuatnya menjadi dokter yang terpandang.
Ketiga, motivasi bersekolah di STOVIA muncul karena inspirasi-sosial, yaitu idealisme yang bersumber dari konteks sosial atas kepahlawanan seseorang yang dijadikan sebagai sumber motivasinya. Motivasi itu muncul pada Vicentius (hlm. 92) yang bersekolah di STOVIA karena ingin membenahi cara berpikir masyarakat di sekitarnya yang tidak rasional dan cenderung mempercayai takhayul. Masyarakat di sekitarnya lebih percaya kepada dukun. Setiap ada yang sakit, mereka selalu membawanya ke dukun. Padahal, dukun tidak memberikan solusi kesembuhan sehingga korban jiwa karena sakit terus saja bermunculan. Motivasi idealisme-sosial ini juga terjadi pada Andreas (hlm. 92) yang bersekolah di STOVIA karena terinspirasi dari para tokoh idolanya, yaitu Marie Thomas dan Anna Warauw, tokoh idola yang merupakan dokter pelopor perempuan dengan kehidupan yang sangat dekat dengan rakyat. Keduanya mengabdikan dirinya untuk mengobati segala bentuk penyakit yang dialami oleh rakyat kecil.
Dari penjelasan tersebut kita dapat melihat tiga pola motivasi dalam bersekolah di STOVIA yang bersumber dari konteks sosial, yaitu motivasi yang bersumber dari keluarga, pragmatisme budaya, dan inspirasi sosial. Ketiga sumber motivasi itulah yang akan kita elaborasi lebih jauh untuk mengungkapkan mekanisme sosial yang mampu memengaruhi personalitas tokoh utama dalam bersekolah di STOVIA.
Motivasi Keluarga
Keluarga adalah lingkup sosial pertama dan inti dalam konteks sosial masyarakat (Soekanto, 2018). Keluarga menjadi basis penting, dalam lingkup sosial, yang efektif dalam membentuk pandangan dunia anak-anak. Tentu saja pandangan dunia itu ditransformasikan orang tua kepada anak-anaknya. Tidak terkecuali pandangan dunia tentang pendidikan. Pada mulanya itu merupakan pengalaman dan pengetahuan orang tua tentang pendidikan. Pengalaman dan pengetahuan itu bersumber dari hubungan dialektisnya dengan masyarakat yang membentuk harapan kolektif (Goode, 2018). Harapan kolektif itu kemudian merefleksikan kehidupan orang tua. Di situlah orang tua kemudian menemukan nilai-nilai autentik, nilai ideal yang diharapkan, tetapi orang tua sudah tidak mampu mewujudkannya. Dari sinilah kita tahu bahwa orang tua kemudian menanamkan nilai autentik itu kepada anak-anaknya.
Hal serupa terjadi pada orang tua Yansen, Sudiro, dan Hilman. Orang tua mereka berasal dari keluarga kaya. Yansen berasal dari keluarga indo yang terhormat, sedangkan Sudiro dan Hilman berasal dari keluarga ningrat dan priyayi. Dalam pergolakan sosialnya, keluarga tersebut menyadari persoalan kesehatan masyarakat di sekitarnya. Dengan masih langkanya dokter dalam konteks sosial saat itu, dokter menjadi harapan masyarakat. Tidak terkecuali harapan orang tua dari keluarga Yansen, Sudiro, dan Hilman. Di sinilah harapan itu terbentuk yang kemudian diberikan kepada anak-anaknya. Orang tua langsung mengatakan keinginan dan kemauannya agar anaknya bersekolah di STOVIA dan menjadi dokter. Yansen dan Hilman langsung menerima harapan orang tuanya, sedangkan Sudiro pada mulanya menolak, tetapi pada akhirnya juga menerima karena itu adalah wasiat dari ibunya sebelum meninggal dunia.
Kita dapat melihat sebuah mekanisme kinerja motivasi bersekolah yang juga banyak terjadi di kalangan anak-anak saat ini. Pada mulanya orang tualah yang memiliki harapan karena pengetahuan dan pengalamannya terhadap kehidupan. Harapan dalam bentuk motivasi bersekolah disampaikan kepada anak-anaknya. Yang perlu kita pahami adalah bahwa dalam konteks keberadaan masyarakat terdahulu, misalnya generasi saya pada 1980-an atau generasi sebelumnya pada masa penjajahan, anak-anak memiliki kecenderungan menerima saja harapan orang tua karena kepatuhan anak-anak kepada orang tua merupakan suatu keharusan atau etika yang harus dijunjung. Namun, dalam konteks saat ini anak-anak cenderung memiliki keberanian untuk menolaknya. Itulah dinamika harapan bersekolah yang terjadi. Motivasi bersekolah anak-anak saat ini beririsan antara harapan orang tua dan pilihan hidupnya sendiri.
Novel Romansa STOVIA ini memberikan suatu penggambaran bahwa anak-anak dalam konteks masa penjajahan Belanda memiliki keberhasilan pendidikan dalam keterpaksaan karena hanya menerima harapan orang tua. Yansen, Arsan, dan Hilman merepresentasikan anak-anak yang berhasil memaksa dirinya untuk menerima harapan orang tua untuk belajar di STOVIA. Harapan orang tua tersebut sudah dipersepsikan sebagai takdir yang harus diikuti serta tidak dipertanyakan dan digugat. Inilah yang membawa ketiganya bersungguh-sungguh dalam belajar sehingga membawanya ketiganya menjadi dokter dengan prestasi gemilang saat menempuh pendidikan di STOVIA.
Motivasi Pragmatisme Budaya
Akar pragmatisme bersumber dari kepentingan untuk tujuan praktis. Artinya, suatu aktivitas dilakukan karena ada mekanisme kepentingan dan tujuan praktis yang diinginkan. Tujuan itu sering kali muncul hanya untuk kepuasan atau kesenangan pribadi. Dalam konteks ini, budaya sebagai ekspresi kolektif suatu masyarakat sering kali dimanfaatkan oleh orang untuk mendapatkan tujuan praktisnya saja (Endraswara, 2020). Inilah yang sering terjadi pada kita. Kita yang tidak berdaya terhadap tuntutan budaya membuat kita kemudian memanfaatkan budaya dalam konteks pragmatisme saja. Inilah yang diekspresikan Arsan dalam konteks budaya Minangkabau yang kuat.
Arsan memahami bahwa keluarganya yang ningrat dan kaya raya memegang kuat budaya. Salah satunya adalah dalam hal pernikahan. Misalnya, dalam prosesi pernikahan adat Minangkabau ada tradisi yang disebut baralek. Prosesi itu dimulai dengan meminang laki-laki dan menjemput pengantin laki-laki untuk bersanding di pelaminan. Dalam konteks inilah pihak perempuan adalah pihak yang melamar mempelai pria. Budaya inilah yang kemudian dipragmatiskan oleh Arsan. Arsan bersekolah di STOVIA dalam usahanya untuk meningkatkan harga diri. Harga diri itu nantinya akan sebanding dengan tingkat sosial perempuan yang akan meminangnya. Makin tinggi tingkat pendidikannya, harga pinangannya pun mmakin tinggi.
Motivasi Arsan itu tidak terlepas dari kenyataan bahwa orang tua Arsan ningrat dan kaya raya. Arsan dikondisikan bersekolah di STOVIA berdasarkan harapan keluarga untuk meningkatkan martabat keningratannya. Di sinilah terdapat hubungan dialektis antara budaya dan kepentingan pragmatisme. Konteks budaya dijadikan landasan untuk mengondisikan Arsan bersekolah di STOVIA. Namun, di sisi lain, dengan bersekolah di STOVIA, Arsan dan keluarganya akan mendapatkan tujuan praktisnya, yaitu peningkatan harga diri sebagai anak laki-laki dan keluarga terpandang dalam konteks budaya Miangkabau. Di sinilah kita melihat konteks budaya dalam bingkai pragmatisme menjadi salah satu motivasi bersekolah di STOVIA.
Mekanisme kinerja sosial berpangkal pada kesadaran orang tua Arsan terhadap budaya Minangkabau, budaya yang selalu dijunjung. Kesadaran budaya membuat keluarga Arsan ingin menjadi keluarga terpandang dalam relasi dengan keluarga lainnya. Arsan pun memahami tujuan praktis tersebut. Arsan pun menerimanya karena dia sendiri juga ingin mendapatkan keuntungan praktis dalam konteks budaya pernikahan. Arsan akan makin bernilai tinggi sebagai lelaki tidak hanya karena keluarganya, tetapi juga karena profesinya sebagai dokter. Dengan nilai yang tinggi, perempuan yang meminang pun harus dapat memenuhi tuntutan Arsan. Dari sinilah motivasi bersekolah Arsan melalui pragmatisme budaya terbentuk.
Konteks motivasi pragmatisme budaya ini tentu juga terjadi dalam konteks pendidikan saat ini. Misalnya, budaya kapitalisme dan materialisme memandang puncak kesenangan bermuara pada kepemilikan modal dan materi. Budaya tersebut memberikan dampak pragmatisme bersekolah yang hanya berorientasi pada pekerjaan agar mempunyai akses untuk medapatkan materi dan modal. Hal itu memberikan dampak pada orang-orang yang berbondong-bondong untuk bersekolah karena seolah dengan berpendidikan tinggi, ada jaminan budaya terhadap kesuksesan finansial. Namun, jika dikaji lagi, ada perbedaan pragmatimse budaya motivasi bersekolah antara Arsan dan anak-anak saat ini. Arsan menunjukkan sikap bertanggung jawabnya dalam bersekolah sehingga menjadi yang terbaik, sedangkan anak-anak saat ini cenderung bersekolah agar mendapatkan ijazah untuk melamar kerja. Sementara itu, Arsan bersekolah di STOVIA karena ingin mendapatkan ilmu agar dapat menjadi dokter yang hebat. Tidak heran jika Arsan pun berprestasi di sekolahnya.
Motivasi Inspirasi Sosial
Kita mamahami bahwa bahasa dialektika sosial adalah sumber inspirasi hidup manusia. Melalui berbagai fenomena sosial yang terjadi di sekitar kita, kita belajar banyak tentang kehidupan. Di sinilah fenomena sosial menjadi sumber inspirasi yang kemudian membangun kesadaran. Kesadaran itu kemudian dirasionalisasikan dengan gagasan sehingga menghasilkan tekad dan komitmen kuat untuk melakukan sesuatu yang kita yakini (Damono, 2020). Di sinilah konteks sosial dapat dimaknai sebagai sumber inspirasi yang membuat kita termotivasi untuk melakukan sesuatu. Demikian pula halnya dengan motivasi dalam bersekolah di STOVIA yang dialami oleh Vicentius dan Albertus.
Pada mulanya Vicentius merasa prihatin terhadap kondisi masyarakat saat itu. Ketika ada yang mengidap penyakit, mereka meyakini bahwa dukun merupakan ahli yang akan bisa menyembuhkannya. Dukun pun tidak melakukan pengobatan kesehatan. Dukun hanya melakukan hal-hal takhayul yang dipandangnya dapat menyembuhkan penyakit. Tentunya penyakit tidak kunjung sembuh hingga yang sakit pun meninggal dunia. Hal itulah yang menginspirasi Vicentius. Vicentius bersekolah di STOVIA dengan tujuan menjadi dokter agar bisa mengubah pandangan masyarakat. Dia ingin dapat mengobati segala penyakit yang diderita masyarakat di sekitarnya. Konteks sosial inilah yang diangkat Vicentius menjadi motivasi bersekolah di STOVIA.
Hal yang serupa juga dialami oleh Andreas. Andreas menyaksikan sendiri perjuangan dan kepahlawanan Marie Thomas dan Anna Warauw dalam menyembukan masyarakat yang sakit. Perjuangan itu meninggalkan nilai autentik tentang kepahlawanan dalam bidang kedokteran. Nilai-nilai itu kemudian menjadi sumber motivasi Andreas untuk menjadi dokter. Nilai inspiratif yang bersumber dari kehidupan tokoh itulah yang menggerakkan Andreas bersekolah di STOVIA dengan sungguh-sungguh sehingga mengantarkan dirinya lulus pendidikan di STOVIA dengan prestasi yang membanggakan.
Jika kita refleksikan dengan konteks motivasi bersekolah saat ini, motivasi inspirasi sosial ini masih kuat mengakar. Banyak anak bersekolah karena ketersentuhan hati dengan persoalan sosial yang dialaminya secara langsung. Persentuhan yang memunculkan motivasi untuk bersekolah dibangun dengan kuat. Kegiatan belajar di sekolah pun dilakukan dengan sungguh-sungguh dan penuh komitmen. Itu terjadi karena harapan yang besar terhadap sekolah yang sedang dijalaninya. Harapan itu muncul untuk menjadikan dirinya sendiri sebagai pahlawan yang dapat mengatasi persoalan sosial yang dihadapai masyarakat di sekelilingnya. Kenyataan itu dapat kita lihat pada perjuangan anak-anak yang bersekolah karena persoalan ekonomi keluarganya, misalnya. Bersekolah dijalani dengan sungguh-sungguh karena ingin dapat mengatasi persoalan itu. Bersekolah dijadikan solusi untuk mengatasi persoalan sosial.
Motivasi bersekolah dengan landasan inspirasi sosial ini biasanya akan membangun komitmen kuat dalam bersekolah. Kegiatan bersekolah dilakukan dengan sungguh-sungguh dan penuh dedikasi karena menjadi harapan penting untuk bisa menjadikan dirinya sebagai pahlawan yang akan mampu mengatasi persoalan yang dihadapi keluarga dan lingkungan sekitarnya. Itulah yang tampak juga pada diri Andreas dan Vicentius. Keduanya juga dapat menyelesaikan pendidikan di STOVIA dengan prestasi yang membanggakan.
Dari kajian di atas kita dapat melihat bahwa
motivasi belajar yang direpresentasikan tokoh-tokoh dalam novel Romansa
STOVIA ini mampu merefleksikan konteks sosial dalam dunia pendidikan saat
ini. Latar sosial dan waktunya berbeda, tetapi substansi dan pola motivasinya
masih relevan. Di sinilah kita kemudian dapat memahami bahwa karya sastra
selalu menyajikan pencarian nilai autentik (Faruk, 2021) yang akan selalu relevan dengan konteks
sosial saat ini. Tidak terkecuali novel Romansa STOVIA karya Sania
Rasyid yang mengangkat, salah satunya, persoalan terkait dengan motivasi tokoh
dalam bersekolah di STOVIA yang merefleksikan motivasi bersekolah peserta didik
dan mahasiswa saat ini.
DAFTAR PUSTAKA
Damono, Sapardi Djoko. 2020. Sosiologi
Sastra. Jakarta: Gramedia Pustaka Utama.
Endraswara, Suwardi. 2020. Sosiologi
Sastra: Studi, Teori, dan Interpretasi. Yogyakarta: Penerbit Ombak.
Faruk.
2021. Pengantar Sosiologi Sastra. Yogyakarta: Pustaka Pelajar.
Goode,
William J. 2018. Sosiologi Keluarga. Jakarta: Aneka Ilmu.
Rasyid, Sania.
2024. Romansa STOVIA. Jakarta: Gramedia Pustaka Utama.
Ratna, Nyoman Kutha. 2019. Paradigma Sosiologi
Sastra. Yogyakarta: Pustaka Pelajar.
Soekanto, Soerjono. 2018. Sosiologi
Keluarga: tentang Ihwal Keluarga, Remaja, dan Anak. Jakarta: Rineka Cipta.

Heru Kurniawan
Dosen UIN Prof. K.H. Saifuddin Zuhri Purwokerto Komunitas Sastra Rumah Kreatif Wadas Kelir