Dari Pertunjukan Ritual ke Dagangan Komersial: Pergeseran Makna Jatilan dalam Cerpen “Pemakan Beling” Karya Ranang Aji SP

A. Pendahuluan

Jatilan, secara sederhana, dapatlah diartikan sebagai suatu pertunjukan tari yang bersifat kerakyatan yang menggunakan properti kuda dan iringan gamelan—serta memungkinkan situasi trance atau kesurupan sebagai spektakel utama. Jatilan, secara historis, diyakini telah ada dan hidup di Jawa sebelum era Hindu-Buddha. Di samping itu, jatilan, atau yang juga memiliki nama lain, seperti jaran kepang, jaranan, dan kuda lumping, yang kini berkembang di Daerah Istimewa Yogyakarta dan sekitarnya, memiliki ikatan genealogis dengan reog di Ponorogo. Dari segi penamaan, jatilan sendiri diambil dari bahasa Jawa yang memiliki arti ‘berjingkrak-jingkrak’ dan memiliki pengertian tari atau gerak yang atraktif.

Secara dimensi fungsi dan pemaknaan, jatilan menempati ruang ritus—ritual penyucian—untuk bersih desa dan selamatan. Dalam hal yang demikian, mestilah diingat bahwa tari ataupun pertunjukan tradisional umumnya tidaklah memisahkan antara persoalan yang performatik dan yang mistik, antara seni pertunjukan dan ritual. Lebih lanjut, secara ritual, jatilan sendiri dimaksudkan dan dimaknai sebagai upaya mengundang keselamatan dan kemakmuran serta mengusir marabahaya ataupun malapetaka. Persoalan yang khas dalam jatilan, sebagai sebuah ritual, adalah situasi trance atau kesurupan. Situasi yang demikian dimaksudkan guna mengundang roh leluhur ataupun hewan-hewan, seperti kera, kuda, dan macan, sebagai upaya mengusir marabahaya dan sukerta. 

Saat menilik dramaturgi dan serangkaian komposisi dalam jatilan, akanlah didapati bahwa jatilan erat sekali dengan kepercayaan sebelum agama-agama masuk. Citra animisme dan dinamisme jatilan dapatlah ditilik dari bagaimana properti jaran kepang dan kostum serta upacara mengundang roh dimaksudkan sebagai serangkaian spektakel utama. Pengundangan roh hewan dapatlah dibaca dan ditilik sebagai citra totemisme dan hadirnya pawang dapatlah dibaca pula sebagai sosok syaman—yang mengundang roh ataupun memulangkan roh tersebut. Dengan demikian, seperti yang telah disebutkan pada bagian sebelumnya, jatilan bukan hanya bermuatan koreografi, melainkan juga sakral-religi.

Penelitian ini bertujuan untuk melakukan pembacaan tentang jatilan dalam sebuah cerpen yang termuat dan tertayang di Kedaulatan Rakyat pada 4 November 2022 karya Ranang Aji SP yang berjudul “Pemakan Beling”. Penelitian ini berpijak pada penelitian sastra sehingga karya sastra menjadi suatu poin utama dan sentral—tanpa melupakan persoalan sosiokultural yang membersamainya. Penjelasan dan deskripsi tentang jatilan yang telah disampaikan di muka menjadi penting sebagai konteks yang menunjang penafsiran dan pembacaan atas teks. Penelitian ini juga memahami dan meyakini bahwa karya sastra adalah suatu cermin yang memungkinkan untuk menimbang dan menilik kembali realita

       B. Landasan Teori dan Metode Meneliti

Sebagai sebuah penelitian yang berpijak pada penelitian akademik yang ilmiah, penelitian ini membutuhkan serangkaian teori untuk melakukan pembacaan dan pendekatan. Adapun teori yang dianggap mampu melakukan pembacaan dan pendekatan tersebut, antara lain, adalah teori hierarki kebutuhan yang digagas oleh Maslow, penelitian yang dilakukan oleh Suwigyo tentang komersialisasi seni, pemahaman tentang teori sosiologi sastra, dan perkara metafora.

Gagasan Maslow (1984) adalah tingkatan kebutuhan yang melihat bahwa manusia memiliki kebutuhan yang bertingkat dan memiliki keutaman dalam kerja pemenuhannnya. Kebutuhan tersebut, antara lain, adalah kebutuhan fisiologi yang melingkupi sandang, pangan, papan; kebutuhan rasa aman; kebutuhan sosial yang melingkupi persoalan pertemanan dan relasi antarmanusia; kebutuhan penghargaan yang melingkupi persoalan penghargaan, penghormatan, dan lainnya; serta kebutuhan aktualisasi diri yang dapat dibaca sebagai kerja seni dan peningkatan potensi diri.

Suwignyo (2018) menjelaskan bahwa faktor-faktor ekonomi, seperti kemiskinan dan kesulitan mencari penghidupan, memainkan peran penting dalam mendorong transformasi jatilan sebagai suatu kesenian. Dalam penelitiannya, Suwignyo mengidentifikasi bahwa komersialisasi merupakan faktor utama yang mengubah pemaknaan jatilan. Suwignyo menyatakan pula bahwa komersialisasi menjadi salah satu mekanisme yang signifikan dalam mengubah ritus menjadi kerja mencari uang. Dengan demikian, jatilan tidak lagi dijalankan sebagai bagian dari tradisi, tetapi sebagai sumber penghasilan bagi para penari—yang dalam hal ini mengalami kemiskinan struktural. 

Pendekatan sosiologi sastra diambil sebab penelitian ini bersepakat bahwa karya sastra adalah cerminan dari suatu masyarakat. Engels (via Damono, 1979: 26) menganggap bahwa sastra adalah cermin pemantul proses sosial, tetapi hubungan isi sastra dan filsafat lebih samar-samar jika dibandingkan dengan isi politik dan ekonomi. Pernyataan yang demikian juga mengingatkan pada pernyataan Aristoteles dalam buku mahsyurnya, Puitika. Kesadaran sosiologi sastra tersebut juga dipijakkan pada pemahaman tentang antipologi dan etnologi yang melihat karya sastra dan karya seni sebagai puncak kebudayaan suatu kelompok manusia—yang memungkinkan untuk dibaca secara berulang.

Terakhir, pendekatan metaforis diambil dalam penelitian ini sebab terbuka kemungkinan bahwa ada transformasi jatilan ataupun apa-apa yang menyertainya dari yang konkret menjadi metaforis, dari yang denotatif menjadi yang konotatif. Oleh karena itu, pembacaan yang menitikberatkan pada bahasa kias menjadi poin yang tidak dapat dilupakan dalam penelitian ini. Penelitian ini menggunakan metode pembacaan kualitatif, yaitu pembacaan intensif terhadap teks yang dalam hal ini adalah cerpen “Pemakan Beling” karya Ranang Aji SP, lalu menimbangnya dengan pengetahuan etnologis serta sosiokultural tentang jatilan. Sumber data penelitian ini adalah cerpen terkait.


C. Pembahasan

Cerpen “Pemakan Beling” karya Ranang Aji SP merupakan cerita pendek yang menceritakan Eko dan istrinya yang mengalami kesulitan ekonomi yang terlampau berat yang diperparah dengan naiknya harga-harga bahan pokok sehingga ketika ada yang menawarinya pekerjaan menjadi penari jatilan, Eko menerimanya. Penerimaan yang dilakukan Eko, atas dasar usulan istrinya, untuk menjadi penari jatilan adalah tanda yang menunjukkan bahwa Eko berada pada taraf yang begitu bawah sebab mereka masih hanya menimbang persoalan makan! Akan tetapi, memanglah demikian yang dimunculkan. Hal yang demikian dapat jelas dibaca pada pembuka cerita sebagai berikut.

Ketika harga-harga naik, Eko dan istrinya terserat oleh bayangan masing-masing. Mereka duduk bersebelahan di lantai bersandarkan kursi sofa warna merah kusam. Istrinya berpikir bagaimana caranya mencari uang agar bisa makan, dan Eko berpikir bagaimana caranya makan malam. Suara jangkrik terdengar menusuk hati di luar dan mencekam kesunyian di dalam. Tepat ketika cicak jatuh dari atap di depan Eko, istrinya tiba-tiba berbicara dengan suara sumbang.

“Larto tadi siang menawarkan kita ikut kuda lumping.”

Eko menengok ke arah istrinya. Pikirannya masih belum mampu fokus karena lapar.

“Masih ada nasi?” tanya Eko.

“Ada beling,” jawab istrinya ketus.

“Larto siapa?” Eko akhirnya mengalah bertanya.

“Belum tahu. Tapi dia pengamen. Aku kenal di jalan tadi.”

“Mau jadi pengamen?”

“Itu lebih bagus daripada mancing di kali asat.” Istrinya menjawab ketus.

Dari adegan awal tersebut dapatlah dibaca bahwa sebab situasi yang genting, harga yang naik, dan pekerjan yang sulit didapat, membuat mengamen dengan jatilan menjadi pilihan Eko dan istrinya. Hal itu senada dengan yang dinyatakan oleh Maslow bahwa kebutuhan fisik, seperti sandang, pangan, papan, lebih dianggap genting. Oleh karena itu, tidaklah mengherankan jika muncul penilaian bahwa jatilan bukan kesenian dalam rangka mengaktualisasikan diri yang bernilai tradisi. Akan tetapi, jatilan telah menjadi jalan pintas meski dengan serangkaian kegetirannya untuk mendapatkan makanan dan kebutuhan-kebutuhan dasar lainnya.

Lebih lanjut, seperti yang dinyatakan pula oleh Suwignyo, kemiskinan dan serentetan kesulitan memainkan peran penting dalam menggeser pemaknaan atas jatilan. Akan tetapi, seperti yang disampaikan di muka pula, penelitian ini tidaklah menimbang baik dan buruk, tetapi menimbang bagaimanakah hal yang demikian dapat terjadi dan bagaimanakah sesuatu itu dapat diubah kembali.

Pada bagian itu pula tampak gurauan yang getir, terlebih ketika menimbang gurauan tersebut dengan kenyataan bahwa jatilan merupakan kesenian. Istri Eko memberikan jawaban ketika Eko bertanya tentang nasi, yaitu lebih baik Eko makan beling. Adegan yang demikian sudahlah cukup menggambarkan pergeseran makna dari “memakan beling” yang bermuatan ritus-spektakel menjadi kegetiran hidup sebab mereka tidak bisa lagi memakan nasi atau makanan yang lumrah bagi manusia.

Pada bagian cerita selanjutnya, akhirnya Eko dan istrinya genap memutuskan untuk bergabung bersama rombongan Larto. Setelah mengikuti beberapa pelatihan, Eko pun menjadi penari jatilan, sedangkan istrinya menjadi orang yang mengedarkan kotak untuk uang saweran. Rombongan mereka mengamen di kota-kota, perumahan, dan di mana saja yang memungkinkan. Rombongan mereka berisi enam orang dengan properti dan kelengkapan yang janggal dan apa adanya. Hal itu pun kian mempertegas bahwa kostum ataupun pakaian, bahkan gamelan tidak lagi genap dibaca dan dipahami sebagai sesuatu yang sakral, tetapi semata-mata media komersial—yang sialnya tidak genap bisa mengakhiri kemiskinan yang telah menjadi struktural. Adapun pernyataan yang demikian lebih jelas dapat dibaca pada kutipan adegan di bawah ini.

Begitulah, sejak itu, Eko dan istrinya menjadi bagian kelompok kuda lumping yang mengamen di kota-kota, perumahan-perumahan, atau di mana saja di daerah yang belum pernah dikenalnya. Semuanya berjumlah enam orang dengan bekal kostum kusam, pewarna muka buatan, dan beberapa alat gamelan, seperti demung, kenong, dan kendang yang diangkut bergantian.

Di hari pertama, Eko ditugaskan menjadi penari setelah diajari menunggang kuda lumping. Menemani temannya yang selalu makan beling. Istrinya bertugas mengedarkan kardus meminta imbalan. Sedang Larto menabuh kendang bersama dua lainnya yang memegang kenong dan demung. Hari itu mereka mendapatkan hasil bagus. Larto membelikan makan enak, rokok, dan arak. Eko dan istrinya juga dapat bagian uang lumayan. Dua puluh ribu berdua. rezeki itu membuat Eko dan istrinya optimis hidup bisa dilalui dengan mudah.

Dari kutipan tersebut dapatlah pula dibaca bahwa pada hari pertama Eko dan istrinya telah dapat kembali makan, merokok, bahkan menikmati arak. Hal demikian kian membuat Eko dan istrinya mantap berada di jalan jatilan—sebagai suatu kerja komersial. Meski demikian, unsur kegetiran tetaplah terbaca! Apabila mempertimbangkan tahun penulisan, yang juga dekat dengan zaman yang disuguhkan dalam penceritaan, akanlah didapati bahwa 20 ribu rupiah bukanlah uang yang banyak, bahkan apabila itu dikalikan dua—untuk dua orang. Akan tetapi, kembali lagi pada apa yang dinyatakan Maslow bahwa kebutuhan fisik menjadi lebih penting dan genting, bahkan dapat pula dibaca untuk menutupi kebutuhan yang hierarkinya berada di atas, yaitu kebutuhan atas rasa aman. 

Cerpen “Pemakan Beling” memang hadir dengan singkat, bahkan lebih pendek daripada cerpen koran umumnya sebab kebijakan redaksional dari Kedaulatan Rakyat sendiri yang menghendaki cerpen yang berkisar dari 500—700 kata saja. Persoalan yang demikian juga membuat cerpen “Pemakan Beling” berjalan cepat setelah 1 hari turut pentas dan berkeliling. Diceritakan loncatan cerita “seminggu kemudian”. Pada adegan yang dimunculkan sepekan setelah kejadian hari pertama bergabung dan turut serta, tampak Eko yang mulai diajari Larto memakan beling untuk keperluan pertunjukan dan meningkatkan nilai (value) dari spektakel pertunjukan. Hal demikian tampak pada kutipan berikut.

Seminggu kemudian, Larto mencoba mengajari Eko memakan beling. Kata Larto, itu penting untuk meningkatkan pesona. “Mereka makan nasi, makan roti, nah, kita makan beling,” ujarnya sambil tertawa. “Mereka suka itu.”

Jadi, Eko belajar menyuguhkan beling. Tapi, tak ada mantra untuk menjadi kebal. Tak ada waktu, kecuali sedikit trik mengunyah.

“Paling penting hati-hati saja. Tak perlu tergesa,” kata Larto.

“Kaca tipis saja,” saran salah satu temannya.

Eko ragu-ragu. Tapi dia malu untuk bilang tak berani. Di hanya diam dan mencoba pelan-pelan. Ternyata dia bisa . . . []

Pada adegan tersebut, cerpen “Pemakan Beling” menunjukkan pergeseran makna jatilan lainnya—dalam persoalan memakan beling. Umumnya, dan ketika menilik kesejarahnnya, memakan beling barulah dimungkinkan dalam jatilan ketika para pemain telah mengalami trance atau telah mengalami kesurupan roh leluhur atau hewan-hewan. Hal yang demikianlah, dalam kepercayaan, diyakini mampu mengusir keburukan dari suatu wilayah atau masyarakat. Akan tetapi, seperti yang tampak pada percakapan antara Eko dan Larto—serta kawan-kawan yang lain—bahwa memakan beling adalah suatu trik dan bukan klenik ataupun mistik. Memakan beling yang sebelumnya menempati dimensi performatik-mistik yang telah bergeser penuh menjadi performatik-akrobatik yang lebih dekat dengan hal-hal sadistik.

Cerita pun berlanjut dengan membawa adegan Eko dan kawan-kawan dari rombongan serta istri dan Larto yang berpentas di perempatan jalan. Di sana, dalam adegan yang demikian, Eko merasa tertarik untuk menunjukkan keahliannya kepada publik—seperti halnya kawannya. Akan tetapi, tragisnya, ketika hendak melakukan ritus memakan beling, ada sebuah mobil yang dikendarai dengan ugal-ugalan menabrak Eko yang sedang menampilkan tarian. Eko pun menemui ajalnya! Kalimat terakhir pada cerpen pun mempertegasnya, “Mulut berdarah dan nyawanya hilang.” 

Dalam cerpen “Pemakan Beling”, jatilan sungguh ditampilkan mengalami pergeseran maknanya dari pertunjukan-ritual menjadi dagangan yang komersial. Cerpen “Pemakan Beling” pun mempertegas kegetiran hidup dari para tokohnya dengan membawa pernyataan “pemakan beling” dari yang bermuatan ritus puncak dramatik menjadi kegetiran yang amat. Memakan beling yang awalnya syarat sebagai kesaktian dan ritus penyucian menjadi olok-olokan bahwa mereka memakan beling sebab tidak mampu memakan nasi atau tidak mampu memakan makanan yang lumrah. Lebih lanjut, memakan beling yang memang awalnya menunjukkan digdaya sebab tidak terluka telah ditampilkan malah membawa luka dan hal itu dipertegas pula dengan kalimat akhir cerpen tersebut.


          D. Simpulan

Seperti yang disampaikan sebelumnya, bahkan sejak mula, penelitian ini tidaklah menyoal benar dan salah—meski memungkinkan. Penelitian ini bertujuan untuk menunjukkan penyebab dan serangkaian hal yang menciptakan persoalan yang demikian. Dari pembahasan yang telah disampaikan, dapat ditarik suatu simpulan bahwa pergeseran makna jatilan bukanlah tiba-tiba, melainkan memiliki serangkaian sebab. Sebab-sebab tersebut muncul karena desakan ekonomi dan sulitnya mempertahankan nilai-nilai estetis-mistis yang menjadi muatan inti dari jatilan.

Bersih desa dan ruwatan tidak lagi genap dilakukan sebab kebanyakan desa pun menghendaki menjadi kota sebab situasi diyakini bisa dibersihkan dengan hal-hal yang rasional. Persoalan mistik telah dilenyapkan oleh rezim akal sehat dan tidak menilik kemungkinan lainnya. Hal demikian dapat ditambah pula dalam persoalan artistiknya, yaitu kostum, gamelan, dan properti kuda-kepang tidak lagi diizinkan memiliki muatan sakral. Lebih lanjut, muatan sakral tersebut lenyap atau terpendam sebab panggung yang lumrah bagi koreografi dan dramatugi jatilan telah hilang; telah dipindahkan ke jalanan—yang menjadi citra utama bagi hal-hal modern dan kapitalistik!

Ekosistem jatilan, para seniman, dan para penonton serta pemangku kebijakan mestilah dikerahkan dengan tepat sehingga ketragisan jatilan dan pelakunya, bahkan kesenian tradisi pada umumnya, dapat hidup dengan layak; bisa hidup dengan sesuai dan sehat. Penelitian ini pun, sebab berpijak pada penelitian sastra, bertujuan menunjukkan bahwa fiksi—dalam hal ini cerpen—telah menyuguhkan dunia alternatif untuk manusia sehingga dapat mencegah, memperbaiki, atau menimbang kembali. Amatlah mungkin jika kejadian di dunia nyata lebihlah tragis dari fiktif yang menjadi objek material ini. Oleh karena itu, penelitian ini menjadi penting sebagai sejenia ajakan guna menimbang segala kembali meski tidak genap berpijak pada persoalan benar dan salah atau baik dan buruk.  []


(Yogyakarta, April—Oktober 2024)


Daftar Pustaka

Damono, Sapardi Djoko. 1979. Sosiologi Sastra: Sebuah Pengantar Singkat. Jakarta: Pusat Pembinaan dan Pengembangan Bahasa.

Dewanto, Nirwan. 2017. Senjakala Kebudayaan. Yogyakarta: Penerbit Oak.

Eagelton, Terry. 2022. Marxisme dan Kritik Sastra. Diterjemahkan dalam Bahasa Indonesia oleh Roza Muliati dkk. Yogyakarta: Sumbu.

Faruk. 1994. Pengantar Sosiologi Sastra: Dari Strukturalisme genetik sampai Posmoderenisme. Yogyakarta: Pustaka Pelajar.

Kuswarsantyo. 2017. Kesenian Jathilan: Identitas dan Perkembangannya di Daerah Istimewa Yogyakarta. Yogyakarta: Kanwa Publisher.

Malna, Afrizal. 2023. Performance Art (dan Medan Pasca-Seni). Yogyakarta: Diva Press.

Maslow, Abraham H. 1984 Motivasi dan Kepribadian: Teori Motivasi dengan Ancangan Hirarki Kebutuhan Manusia. Dialihbahasan oleh Nurul Iman. Jakarta: Pustaka Binama Pressindo.

Pigeaud, Dr. Th. 1938. Javaanse Volksvertoningen: Bijdrage Tot De Beschrijving Van Land En Volk Batavia: Volkslectuur) p., Dialihbahasakan oleh K.R.T. Muhammad Husodo Pringgokusumo, B.A, di Istana Mangkunegaran dengan Judul Pertunjukan Rakyat, Sumbangan Bagi Ilmu Antropolog, 1991.

SP, Ranang Aji. “Pemakan Beling”. Harian Kedaulatan Rakyat, 22 November 2022, Budaya.

Suwigyo, S. 2018. Reronggo Puntadewa Dance Performance: A Case Study of The Jathilan Dance Movement in Gunungkidul, Yogyakarta. International Journal of Society, Culture & Language, 6(1), 23—26.

Wiyatmi. 2013. Sosiologi Sastra: Teori dan Kajian terhadap Sastra Indonesia. Yogyakarta: Kanwa Pusblisher.

Yohanes, Benny. 2017. Metode Kritik Teater: Teori, Konsep, dan Aplikasi. Yogyakarta: Kalabuku.

Polanco S. Achri

Polanco S. Achri adalah penulis kelahiran Yogya yang berkisar antara karya sastra dan kritik seni. Tulisan-tulisannya yang berupa puisi, cerpen, dan esai-esai seni tersiar di beberapa media. Ia tergabung di Komunitas Utusan Negeri Dongeng, sebagai penulis naskah dan penata artistik. Selain menulis, untuk keperluan pertunjukan dan pameran, ia juga mengelola Pendjadjaboekoe dan Majalah Astro. Kini, ia tengah menempuh Magister Sastra di UGM. Ia dapat dihubungi di FB: Polanco Surya Achri dan/atau Instagram: polanco_achri.

Sedang Tren

Ingin mengetahui lebih lanjut?

Kunjungi media sosial Badan Pengembangan dan Pembinaan Bahasa