RUANG KELAS YANG TERUS BERGERAK KARYA HIDAYAT RAHARJA: SPIRIT PEDAGOGIS PADA SAAT PANDEMI COVID-19

Termaktub sekelumit sinopsis di sampul buku bagian belakang, Pernahkah kau membayangkan mempunyai seorang guru yang gemar mencatat peristiwa-peristiwa yang terjadi di ruang kelasmu? Catatan-catatan itu terasa personal sekaligus empatik. Ketika suatu hari kau membacanya, kau terseret menuju suatu tempat di masa lalu: ruang kelas berisi teman-temanmu, kenakalan-kenakalan kecil kalian, momen mengerjakan soal dari guru bersama-sama, momen mengikuti perlombaan, momen mengadakan pertunjukan, dan hal lain yang membuatmu terjatuh dalam lubang kenangan.

Dari sekelumit sinopsis buku ini, pembaca diajak kembali ke ruang kelas dengan beragam drama dan kejutannya, tempat yang mewakili proses pembelajaran yang saya bahasakan dengan pembelajaran konvensional dengan ruang kelas yang terdiri atas papan tulis, meja, dan bangku sebagai sarana pembelajarannya. Menurut Suharsimi Arikunto (2009), ruang kelas juga dipandang sebagai elemen yang penting dalam menciptakan atmosfer yang kondusif untuk proses belajar. Ruang kelas dalam buku ini menjadi menarik karena seolah-olah hidup dan bukanlah hal atau benda mati biasa. Penulis, Hidayat Raharja, membahasakannya dengan “ruang kelas yang terus bergerak”. Kita ketahui bersama bahwa ada tiga syarat keberlangsungan pendidikan atau pembelajaran, yaitu pendidik, peserta didik, dan tempat pendidikan (ruang kelas).

Sejauh pembacaan saya, secara universal, penulis buku ini bertekad bulat dan berhasrat kuat untuk menyampaikan spirit pedagogis dari guru-guru SMA Negeri 4 Sampang dalam mendidik dan membimbing peserta didiknya sehingga mereka mampu menemukan nilai (value) dan renjananya (passion-nya) sendiri-sendiri. Menurut Moh. Ali (2010), pedagogis adalah pendekatan yang digunakan oleh seorang pendidik dalam interaksi dengan siswa yang bertujuan untuk mengembangkan potensi dan karakteristik peserta didik sebagaimana disebutkan. “Saya selalu optimis bahwa peserta didik yang tidak pandai di bidang akademik, memiliki kecakapan di bidang nonakademik (hal. 120).”

Sebelum mengulik-ulik buku ini, Anda terlebih dahulu dapat mengenal secara singkat pribadi penulisnya. Hidayat Raharja adalah seorang guru serta penulis esai dan puisi. Ia juga gemar melukis sketsa. Ia lahir di Sampang, 14 Juli 1966. Ia pernah menjadi Juara 1 lomba menulis Buku Bacaan SD di Pusat Kurikulum dan Perbukuan, Jakarta, tahun 2010. Ia merupakan finalis beberapa lomba mengulas karya sastra yang diadakan majalah sastra Horison dan Pusat Pembelajaran Sastra Jakarta pada tahun 2001, 2002, dan 2003. Adapun buku karya beliau, di antaranya, buku puisi Kangean (2016), Kamera Lubang Jarum, Penghayatan terhadap Cahaya (2017), Kloning (2018), dan Ruang Kelas yang Terus Bergerak (2024). Pada tahun 2016 buku Kangean menyabet penghargaan dan ia terpilih sebagai salah satu dari sepuluh terbaik penulis nonfiksi dari Dinas Pendidikan Provinsi Jawa Timur serta terpilih sebagai salah satu dari 15 nomine dalam kategori buku puisi terbaik dari Yayasan Hari Puisi, Jakarta.

Secara umum, buku ini terbagi menjadi empat bagian, yaitu Sekolah Marjinal, Cerita Danil dan Jamil, Sang Juara, serta Ruang Kelas yang Luas dan Merdeka. Bagian pertama mengandung sembilan esai. Bagian kedua mencakup tujuh esai. Bagian ketiga terdiri atas enam esai. Sementara itu, bagian keempat menghimpun delapan esai. Kumpulan esai dalam buku ini membicarakan banyak hal, seperti kondisi sekolah dari sisi sarana dan prasarana, penerimaan peserta didik baru, penilaian akhir semester, seragam sekolah, kreativitas para guru, serta kolaborasi sekolah dengan lembaga lain. Namun, saya lebih tertarik mengulik semangat para guru dalam melangsungkan pembelajaran. Saya tertarik karena SMAN 4 Sampang, sebagaimana yang digambarkan dalam buku ini, adalah sekolah yang lokasinya sangatlah jauh dari kata strategis—di tengah kampung dan sulit diakses dengan transportasi umum. Kebanyakan orang mungkin menganggap bahwa sekolah itu lebih baik ditutup saja karena peserta didik dan minat masyarakat sekitar minim.

Kemudian, ketertarikan mengulas spirit pedagogis para tenaga pendidik dalam buku ini juga disebabkan oleh kegigihan para guru. Sekalipun sekolah mereka memiliki banyak keterbatasan, baik dari sisi fasilitas maupun peserta didiknya, para guru tetap kukuh dan bersemangat dalam mengupayakan keberlangsungan pembelajaran. Bahkan, ada guru yang sampai mendatangi rumah murid, yang sengaja tidak mengikuti ujian, agar murid tersebut dapat memperoleh nilai dan tetap melangsungkan pendidikan. Adapun pada masa pandemi Covid-19 yang pernah melanda Indonesia dan hampir melumpuhkan dunia pendidikan, di SMAN 4 Sampang, dengan usaha yang cukup gigih dari guru-gurunya, pembelajaran tetap dapat berjalan sekalipun guru-guru harus beradaptasi dengan beraneka ragam teknologi dan aplikasi yang menunjang pembelajaran daring (dalam jejaring).   

Spirit Pedagogis Guru SMAN 4 Sampang

Selama membaca Ruang Kelas yang Terus Bergerak, rasa-rasanya, saya sedang menikmati atmosfer semangat juang dan harapan dari guru-guru yang mendedikasikan tubuh, pikiran, dan waktunya untuk berpartisipasi dalam mencerdaskan kehidupan bangsa. Semangat para guru, oleh Hidayat Raharja, ditampilkan secara eksplisit dalam buku ini. Sebagai contoh, para guru dengan senang hati dan senyum simpulnya menyambut siswa-siswanya sewaktu mereka tiba di sekolah pada pagi hari. Hal ini menunjukkan bahwa para guru dengan penuh kesungguhannya mencerminkan semangat mendidik dan etos pengabdian di dunia pendidikan. Dari sini dapat dimengerti bahwa guru-guru di SMAN 4 Sampang teramat semangat untuk datang pagi-pagi sebelum siswa-siswanya berdatangan. Hal semacam ini juga merupakan implementasi dari pendidikan dengan menggunakan tindakan (haliyah).

Kegigihan para guru juga tampak pada masa penerimaan peserta didik baru. Sebagaimana dituliskan oleh Hidayat Raharja, “Bila menjelang penerimaan peserta didik baru, semua bersiaga untuk mendatangi kampung dan melakukan sosialisasi, barangkali ada murid usia SMA yang belum masuk sekolah. Perjuangan yang tidak pernah henti. Jika di sekolah lain murid datang sendiri dan sebagian ditolak karena melebihi pagu, di tempat kami pagu yang disediakan tak pernah penuh terisi (hal. 78).” Kesulitan untuk mendapatkan peserta-didik-baru merupakan satu hal yang sangat memprihatinkan dan menjengkelkan bagi siapa pun yang dihadapkan dengan fenomena demikian. Namun, hal itu tidak lantas mematahkan semangat para guru. Mereka turun gunung dan jemput bola demi keberlanjutan instansi SMAN 4 Sampang dan pendidikan.

Setelah sekolah mendapatkan murid, spirit para guru diuji dengan keberagaman latar belakang murid yang notabene memang kurang memiliki semangat dan kesadaran belajar. Hidayat Raharja mengungkapkan, “Mereka mau bersekolah, tapi semangat mereka sangat rendah, sehingga dibutuhkan kesabaran tingkat tinggi untuk membinanya. Membangkitkan semangat mereka membutuhkan waktu dan siasat. Sekolah baginya masih belum menjadi prioritas utama, sehingga bagi guru kondisi ini merupakan tantangan yang amat berat. Namun, kesabaran guru-guru ini patut diapresiasi. Setiap pagi menunggu murid datang dan siap melayani. Namun, di waktu tertentu, sepanjang pagi sampai siang tidak ada murid yang datang ke sekolah (hal. 79).”

 

Tak Patah Arang Diterjang Covid-19

E. Mulyasa (2020), seorang ahli pendidikan yang banyak menulis mengenai manajemen pembelajaran, dalam beberapa tulisannya menyatakan bahwa pandemi Covid-19 membuka tantangan sekaligus peluang dalam dunia pendidikan. Mulyasa mengungkapkan bahwa pendidikan di Indonesia tidak hanya terhambat oleh masalah infrastruktur, tetapi juga oleh kesiapan mental dan profesionalisme pendidik dalam mengadopsi teknologi pendidikan. Dalam peralihan ke pembelajaran daring diperlukan kompetensi baru bagi guru, yang tidak hanya harus menguasai materi pelajaran, tetapi juga teknologi sebagai alat bantu dalam pembelajaran.

Semangat saat tidak ada fenomena problematik yang mencekik adalah hal biasa dan wajar. Namun, coba bayangkan, pada saat Covid-19 melanda, masih ada orang-orang yang semangat menjalani kehidupan. Mungkin orang-orang semacam ini banyak atau mungkin juga justru sedikit. Hal itu bergantung pada personal dan lingkungan sekitar. Guru-guru SMAN 4 Sampang termasuk orang-orang yang memiliki spirit yang tinggi, semangatnya kian berkobar-kobar, tak padam meski diterjang Covid-19. Padahal, kita ketahui bahwa virus ini sangatlah merugikan segenap aspek kehidupan, melumpuhkan ekonomi, menyebabkan lockdown dan sosial distancing, membekukan bangsa, dan mengganjal laju pendidikan, dan lain-lain.

Esai yang berjudul Perjumpaan: SMAN 4 Sampang berlatar waktu tahun 2020, saat Covid-19 masih mewabah. Di situ diceritakan pertemuan kali pertama murid-murid baru dengan para guru dengan menggunakan gaya baru, yakni perjumpaan di ruang virtual. Masa pengenalan lingkungan sekolah yang bertepatan dengan hari ulang tahun sekolah yang ke-12 dilangsungkan secara daring selama tiga hari. Di akhir kegiatan, setiap anak mengunggah karyanya dalam grup WA. “Setiap peserta didik berupaya untuk menampilkan hasil karya terbaiknya: membaca Al-Qur'an, membuat kerajinan tangan, melukis, dan membaca puisi (hal. 33).”  

Setidaknya, buku ini juga menggambarkan cara para guru SMAN 4 Sampang dalam merespons wabah Covid-19 yang secara langsung menghambat efektivitas pembelajaran dan pendidikan. Mereka memutar otak dan menggali ide-ide baru supaya pembelajaran tetap berlangsung serta transfer ilmu dan pengetahuan senantiasa berjalan di tengah gempuran wabah Covid-19. Mereka tetap semangat menggunakan media, taktik, dan model pembelajaran baru yang mungkin belum sepenuhnya dikuasai setiap guru, misalnya dalam hal teknologi. Belum lagi saat mereka bersinggungan dengan sebagian murid yang malas atau enggan belajar.

Buku ini sangat pantas untuk dibaca oleh para tenaga pendidik, khususnya guru. Boleh jadi buku ini memang ditujukan bagi mereka. Namun, dari pembacaan saya, buku ini layak dibaca oleh masyarakat luas, termasuk orang tua, bahkan siswa. Meski berlatar SMAN 4 Sampang, buku ini dan muatan di dalamnya dapat  diaplikasikan di mana pun, sesuai dengan latar dan waktu pembacanya. Buku ini juga dilengkapi dengan gambar dan ilustrasi yang memudahkan pembaca dan menjadi bukti nyata atas usaha dan jerih payah guru-guru dalam mendidik sekaligus memicu potensi peserta didik dan memompa bakat serta minat siswa sehingga mereka mampu bersaing dan berprestasi.

DAFTAR PUSTAKA

 

Ali, Moh. (2010). Pengantar Pendidikan. Jakarta: Rineka Cipta.

Arikunto, Suharsimi. (2009). Dasar-Dasar Evaluasi Pendidikan. Jakarta: Bumi Aksara.

Mulyasa, E. (2020). Manajemen Pembelajaran di Masa Pandemi COVID-19. Bandung: Remaja Rosdakarya.

Raharja, Hidayat. (2024). Ruang Kelas yang Terus Bergerak. Yogyakarta: Basabasi

Fajrul Alam

Kecanduan kopi dan gorengan. Alumnus Al-Iman Bulus dan UIN Prof. K.H. Saifuddin Zuhri Purwokerto. Sebagai guru honorer di MI Beji dan Bergeliat di SKSP (Sekolah Kepenulisan Sastra Peradaban) Purwokerto. Karyanya masuk di beragam koran, buku antologi puisi, majalah, dan media online dll. Bisa disapa via IG: fajrulalam_

Sedang Tren

Ingin mengetahui lebih lanjut?

Kunjungi media sosial Badan Pengembangan dan Pembinaan Bahasa