Summer Reading Camp: Upaya Membangun Budaya Literasi Berbasis Kearifan Lokal di Banyumas
Kemampuan literasi saat ini menjadi salah satu pilar utama dalam menentukan daya saing suatu bangsa di tengah era disrupsi. Literasi modern tidak lagi sekadar dipahami sebagai kemampuan membaca dan menulis, tetapi juga kemampuan berpikir kritis, memecahkan masalah, berkomunikasi efektif, hingga memahami berbagai informasi dalam berbagai konteks sosial dan budaya (UNESCO, 2021).
Sayangnya, realitas di Indonesia masih menunjukkan tantangan serius. Berdasarkan data UNESCO (2021), indeks literasi Indonesia berada di peringkat 62 dari 70 negara. Sementara itu, dalam laporan World’s Most Literate Nations (WMLN) oleh Central Connecticut State University (2020), Indonesia ditempatkan di posisi ke-60 dari 61 negara. Temuan tersebut diperkuat oleh Rahmawati et al. (2023) yang menyebutkan bahwa minat baca yang rendah dalam masyarakat Indonesia disebabkan oleh ruang literasi berbasis komunitas yang minim, dukungan keluarga yang lemah, serta dominasi budaya visual dan hiburan instan, khususnya di kalangan anak dan remaja.
Berdasarkan situasi tersebut, berbagai inisiatif komunitas literasi di berbagai daerah mulai bermunculan sebagai bentuk gerakan literasi berbasis lokal. Salah satunya adalah program Summer Reading Camp di Kabupaten Banyumas, Jawa Tengah. Program ini diselenggarakan oleh komunitas literasi Rumah Kreatif Wadas Kelir Purwokerto satu tahun sekali. Pada tahun 2024, tahun kelima, program ini dilaksanakan di Villa Cikallima Baturraden. Program ini hadir tidak hanya sebagai ruang penguatan budaya baca, tetapi juga sebagai media pelestarian nilai-nilai kearifan lokal yang mulai tergerus modernisasi. Uniknya, program ini tidak hanya berisi aktivitas membaca dan menulis, tetapi juga diperkaya dengan fun games, melukis topi, pembuatan film mini, pertunjukan seni, yel-yel, operasi semut (gerakan pungut sampah bersama), hingga edukasi spiritual berupa salat berjamaah, tadarus, dan pemberian nilai-nilai moral berbasis cerita rakyat.
Banyumas dikenal sebagai salah satu daerah dengan kekayaan budaya lokal yang masih lestari, seperti seni ebeg, lengger, wayang kulit gragag banyumasan, hingga cerita rakyat legendaris seperti Legenda Gunung Slamet, Asal Usul Curug Cipendok, dan Jaka Tingkir. Kearifan lokal semacam ini sangat potensial dijadikan media edukasi karakter dan literasi anak. Sejalan dengan penelitian Sari et al. (2022), pendidikan berbasis budaya lokal terbukti mampu menanamkan nilai karakter, meningkatkan partisipasi belajar, serta menumbuhkan rasa cinta terhadap budaya daerah.
Konsep summer reading camp memadukan pendekatan edukatif, rekreatif, dan komunikatif berbasis nilai lokal. Anak-anak tidak hanya diajak membaca buku, tetapi juga berinteraksi dengan permainan tradisional, mendengarkan dongeng rakyat, menulis ulang cerita rakyat, berkreasi dalam seni lukis topi, membuat film mini, pentas seni, hingga bereksperimen melalui jelajah literasi. Kegiatan ini sekaligus menjadi ruang edukasi karakter melalui aktivitas ibadah bersama, edukasi spiritual, dan gerakan lingkungan. Menurut Purwanti & Hartati (2023), model literasi berbasis pengalaman nyata dan nilai lokal seperti ini efektif membangun budaya literasi yang berakar kuat pada identitas daerah, sekaligus sebagai bentuk ketahanan budaya di tengah arus globalisasi.
Dengan demikian, Summer Reading Camp di Banyumas memiliki peran strategis, tidak hanya dalam konteks peningkatan minat baca anak, tetapi juga sebagai sarana pelestarian budaya, penguatan karakter, pembentukan solidaritas sosial, dan peningkatan kualitas sumber daya manusia yang literat, religius, dan peduli lingkungan. Artikel ini akan mengulas konsep, implementasi, serta manfaat program tersebut bagi masyarakat Banyumas, sekaligus memperkaya kajian literasi berbasis budaya lokal di Indonesia.
Konsep dan Filosofi Summer Reading Camp
Summer Reading Camp merupakan program edukasi literasi berbasis komunitas yang diselenggarakan secara berkala di Kabupaten Banyumas, khususnya saat liburan sekolah. Program ini dikembangkan sebagai wadah belajar alternatif yang tidak hanya berfokus pada peningkatan kemampuan baca-tulis anak, tetapi juga membangun karakter, memperkuat solidaritas sosial, dan menanamkan nilai-nilai kearifan lokal Banyumas. Summer Reading Camp berbeda dengan program literasi konvensional yang monoton di ruang kelas karena menghadirkan konsep belajar yang aktif, menyenangkan, dan berbasis pengalaman langsung di lingkungan sosial-budaya peserta.
Secara filosofis, program ini berasal dari pemahaman bahwa pendidikan bukan sekadar sarana mentransfer pengetahuan, melainkan juga medium pembentukan karakter, penguatan nilai sosial, serta pelestarian budaya. Seperti yang ditegaskan oleh Tilaar (2019), pendidikan berbasis budaya lokal memiliki kekuatan untuk memperkuat identitas anak bangsa sekaligus menanamkan nilai-nilai luhur yang kontekstual dengan kehidupan masyarakatnya. Di tengah tantangan globalisasi dan digitalisasi yang sering kali mengikis nilai tradisional, program seperti summer reading camp menjadi ruang penting untuk membangun ketahanan budaya sekaligus membangun budaya literasi yang berbasis kearifan lokal.
Konsep utama program ini adalah menggabungkan aktivitas literasi dengan ragam kegiatan edukatif rekreatif yang menyentuh aspek budaya, seni, religi, lingkungan, dan sosial. Anak-anak tidak hanya diajak membaca buku atau menulis cerita, tetapi juga berkreasi melukis topi, membuat film mini bertema cerita rakyat, mengikuti fun games literasi, operasi semut (gerakan peduli lingkungan dengan memungut sampah bersama), hingga pertunjukan seni, yel-yel literasi, dan pentas seni anak.
Tak hanya itu, program ini juga memasukkan nilai-nilai spiritual melalui salat berjamaah, tadarus Al-Qur'an, dan edukasi moral berbasis cerita rakyat. Menurut Sari et al. (2022), pendekatan pendidikan karakter berbasis komunitas yang terintegrasi dengan nilai budaya dan aktivitas keagamaan efektif membentuk kepribadian anak yang religius, peduli lingkungan, dan memiliki kepekaan sosial.
Dalam pelaksanaannya, summer reading camp mengadopsi prinsip experiential learning, yaitu proses belajar langsung melalui pengalaman nyata. Anak-anak terlibat aktif dalam setiap aktivitas, mulai dari mendongeng, bermain permainan tradisional, bereksperimen sains sederhana, hingga berdiskusi tentang pesan moral dari cerita rakyat. Seperti dikemukakan Purwanti & Hartati (2023), metode belajar berbasis pengalaman dan budaya lokal dapat meningkatkan daya ingat, membangun kepercayaan diri, serta menanamkan nilai karakter yang lebih kuat jika dibandingkan dengan metode ceramah konvensional.
Lebih dari sekadar kegiatan pada masa liburan, summer reading camp didesain sebagai strategi penguatan karakter berbasis komunitas. Sejalan dengan Rahmadani dan Susanti (2021), pendidikan komunitas yang dikombinasikan dengan aktivitas seni, budaya, dan spiritualitas mampu memperkuat solidaritas sosial, membangun moralitas generasi muda, dan melahirkan anak-anak yang literat sekaligus berkarakter.
Dengan demikian, konsep summer reading camp di Banyumas bukan hanya media peningkatan literasi, melainkan juga wadah edukasi budaya, pelestarian tradisi lokal, penguatan karakter anak bangsa, dan media pemberdayaan komunitas literasi di tingkat desa. Model seperti ini layak direplikasi di berbagai daerah di Indonesia sebagai bentuk inovasi gerakan literasi yang berakar pada budaya bangsa sendiri.
Implementasi di Banyumas
Kabupaten Banyumas dikenal sebagai salah satu wilayah di Jawa Tengah yang kaya akan budaya tradisional, nilai-nilai kearifan lokal, dan cerita rakyat yang sarat pesan moral. Potensi inilah yang dimanfaatkan komunitas literasi lokal, relawan pustaka, pendidik, tokoh budaya, dan pemerintah desa untuk mengembangkan program summer reading camp sebagai upaya peningkatan budaya literasi sekaligus pelestarian nilai-nilai budaya lokal Banyumas.
Implementasi program ini dilakukan melalui pendekatan literasi berbasis komunitas yang kolaboratif. Menurut Hidayati et al. (2022), keterlibatan aktif berbagai unsur masyarakat dalam kegiatan literasi berbasis budaya dapat memperluas dampak program, meningkatkan partisipasi, dan mempererat solidaritas sosial di lingkungan pedesaan.
Pelaksanaan summer reading camp di Banyumas
dirancang dalam beberapa jenis kegiatan tematik yang terintegrasi.
1. Fun
Games Literasi dan Permainan Tradisional
Anak-anak
diajak mengikuti permainan edukatif, seperti engklek, gobak sodor, egrang,
serta fun games yang dikombinasikan dengan soal-soal literasi ringan.
Kegiatan ini bertujuan untuk melatih kemampuan motorik dan kerja sama tim serta
membangun suasana belajar yang menyenangkan.
2. Kreativitas
Melukis Topi dan Membuat Film Mini
Peserta diberi
ruang untuk berekspresi melalui kegiatan melukis topi, mendesain poster
literasi, dan membuat film mini bertema cerita rakyat Banyumas. Anak-anak
terlibat secara langsung, mulai dari menyusun skenario, menjadi aktor, hingga
menjalani proses syuting. Menurut Saputri & Widodo (2023), aktivitas seni
visual dan audiovisual berbasis budaya lokal efektif untuk meningkatkan
literasi visual, imajinasi, dan daya ekspresi anak.
3. Pertunjukan
Seni dan Yel-Yel Literasi
Setiap sore diadakan pentas seni sederhana, seperti membaca puisi, mendongeng, hingga menampilkan pertunjukan pantomim dan kreasi yel-yel literasi. Kegiatan ini melatih keberanian anak untuk tampil di depan umum, membangun kepercayaan diri, dan memperkuat nilai kebersamaan.
4. Salat
Berjamaah, Tadarus, dan Edukasi Spiritual
Literasi di
Banyumas tidak hanya bersifat intelektual, tetapi juga spiritual. Anak-anak
diajak untuk melaksanakan salat berjamaah, tadarus Al-Qur'an, dan mendengarkan
edukasi moral yang dikaitkan dengan pesan cerita rakyat atau peristiwa
sehari-hari. Sejalan dengan Sari et al. (2022), integrasi nilai spiritual dalam
pendidikan berbasis komunitas memperkuat pembentukan karakter anak.
5. Operasi
Semut: Literasi Lingkungan
Sebagai bagian
dari pendidikan karakter sosial dan lingkungan, anak-anak melakukan operasi
semut, yaitu mengumpulkan sampah di sekitar lokasi kegiatan. Selain menanamkan
kebiasaan untuk menjaga kebersihan, kegiatan ini juga membangun kepedulian
sosial dan lingkungan di kalangan peserta.
6. Jelajah
Literasi: Mendongeng, Bercerita, dan Bereksperimen
Kegiatan
jelajah literasi menjadi sesi yang paling dinantikan. Anak-anak diajak membaca
bersama, mendengarkan dongeng dalam bahasa Banyumasan, bercerita
pengalaman, hingga mencoba eksperimen sains sederhana yang dikaitkan dengan
cerita rakyat. Menurut Purwanti & Hartati (2023), metode experiential learning berbasis cerita
rakyat dan eksperimen sederhana efektif dalam meningkatkan minat baca dan
kemampuan berpikir kritis anak.
7. Pojok
Baca Tradisional dan Kunjungan Edukasi ke Situs Budaya
Pojok baca di pendopo desa atau bawah pohon beringin tetap menjadi ikon kegiatan ini. Selain itu, anak-anak diajak untuk mengunjungi tempat bersejarah, seperti Museum BRI Purwokerto, Sendang Mas Banyumas, dan Gunung Slamet, untuk mengenal sejarah dan budaya lokal secara langsung.
Pelaksanaan program ini terbukti membangun antusiasme anak terhadap budaya membaca, seni, lingkungan, dan nilai-nilai spiritual secara terintegrasi. Wicaksono & Zulfa (2022) menyatakan bahwa model literasi berbasis komunitas dan kearifan lokal yang dipadukan dengan aktivitas seni, permainan, dan spiritualitas mampu memperkuat relasi sosial, membentuk karakter, serta meningkatkan literasi anak di perdesaan.
Manfaat Program
Pelaksanaan
summer reading camp di Banyumas
membawa berbagai manfaat strategis yang tidak hanya berdampak pada aspek
literasi, tetapi juga penguatan karakter, pelestarian budaya, serta pembangunan
solidaritas sosial di lingkungan masyarakat. Berbagai penelitian menunjukkan
bahwa program literasi berbasis komunitas yang dipadukan dengan aktivitas seni,
budaya, dan spiritualitas memiliki pengaruh positif yang lebih luas jika dibandingkan
dengan program literasi konvensional (Hidayati et al., 2022; Sari et al.,
2022). Adapun manfaat yang dapat diidentifikasi dari program ini adalah sebagai
berikut.
1. Minat
baca dan literasi anak meningkat melalui metode menyenangkan.
Kegiatan
membaca di pojok baca terbuka, jelajah literasi, hingga mendengarkan dongeng
rakyat secara interaktif dapat membuat anak-anak merasa nyaman dan antusias. Selain
itu, permainan edukatif (fun games
literasi), pentas seni, dan yel-yel literasi yang dikemas atraktif mampu
meningkatkan ketertarikan anak terhadap kegiatan membaca. Rahmawati et al.
(2023) mencatat bahwa pendekatan literasi berbasis aktivitas kreatif dan
rekreatif dapat meningkatkan minat baca anak hingga 30%.
2. Kearifan
lokal menjadi lestari melalui aktivitas seni, permainan, dan cerita rakyat.
Program
ini berhasil menjaga dan memperkenalkan kembali cerita rakyat Banyumas,
permainan tradisional, dan seni lokal melalui kegiatan melukis topi, menampilkan
pertunjukan seni, serta membuat film mini bertema budaya lokal. Saputri &
Widodo (2023) menekankan bahwa pelestarian budaya daerah dapat dilakukan
melalui media edukasi kreatif yang melibatkan anak sebagai pelaku aktifnya.
3. Anak
memiliki karakter moral, religius, dan sosial.
Kegiatan
salat berjamaah, tadarus, serta edukasi nilai moral yang dikaitkan dengan
cerita rakyat membentuk karakter religius dan nilai moral anak. Selain itu,
operasi semut mengajarkan kepedulian sosial dan lingkungan. Sari et al. (2022)
menegaskan bahwa pendidikan karakter yang diintegrasikan dalam program berbasis
komunitas lebih efektif membangun akhlak anak daripada metode ceramah
konvensional.
4. Kreativitas
dan daya imajinasi anak dapat berkembang.
Melalui
aktivitas melukis topi, membuat film mini, pentas seni, dan menulis cerita
rakyat, anak-anak diberi ruang untuk mengekspresikan gagasan, menuangkan
imajinasi, serta meningkatkan keterampilan seni dan literasi visual. Hidayati
et al. (2022) menyatakan bahwa aktivitas kreatif berbasis budaya lokal mampu
meningkatkan kepercayaan diri dan ekspresi kreatif anak secara signifikan.
5. Kemampuan
berpikir kritis dan menyelesaikan masalah (problem solving) dapat meningkat.
Jelajah
literasi berupa bercerita, mendongeng, eksperimen sains sederhana, serta
diskusi pesan moral dari cerita rakyat mendorong anak untuk berpikir kritis,
berargumentasi, dan menyampaikan gagasan secara logis. Purwanti & Hartati
(2023) mencatat bahwa metode experiential learning berbasis budaya lokal
dapat meningkatkan kemampuan berpikir kritis anak hingga 25% dalam waktu 2
minggu.
6. Solidaritas
sosial dan relasi antargenerasi menjadi lebih kuat.
Program
ini melibatkan anak-anak, orang tua, relawan, tokoh budaya, dan pemuka agama
dalam satu rangkaian kegiatan yang interaktif dan menyenangkan. Hal ini
membangun komunikasi antargenerasi, mempererat relasi sosial, dan menciptakan
suasana kebersamaan yang hangat di lingkungan desa. Wicaksono & Zulfa
(2022) menyebutkan bahwa literasi berbasis komunitas efektif memperkuat kohesi
sosial masyarakat perdesaan.
7. Komunitas
literasi dan relawan lokal menjadi berdaya.
Dengan program ini, komunitas literasi desa, pegiat seni, dan relawan pustaka diberdayakan untuk turut serta mengembangkan program literasi berkelanjutan. Selain memperkuat peran sosial mereka, hal ini sekaligus memperluas jaringan literasi di tingkat akar rumput. Menurut Hidayati et al. (2022), keberlanjutan gerakan literasi desa sangat ditentukan oleh peran aktif komunitas lokal.
Summer reading camp di Banyumas
membuktikan bahwa program literasi dapat dikembangkan secara kreatif dengan
tetap menjunjung tinggi budaya lokal. Program ini seharusnya menjadi inspirasi
bagi daerah lain dalam upaya membangun generasi literat, berkarakter, dan cinta
budaya. Agar lebih optimal, program ini perlu mendapat dukungan penuh dari
pemerintah daerah, institusi pendidikan, dan pegiat literasi untuk memperluas
dampak positifnya.
Daftar Bacaan
Hidayati, D. et al. (2022).
"Optimalisasi Program Literasi Berbasis Kearifan Lokal dalam Meningkatkan
Minat Baca Anak." Jurnal Pendidikan
Nusantara, 4(1), 55-65.
Purwanti, E., & Hartati, R. (2023).
"Implementasi Pendidikan Literasi Berbasis Budaya Lokal di Sekolah
Dasar." Jurnal Pendidikan dan
Humaniora, 11(2), 205-214.
Rahmadani, F., & Susanti, Y.
(2021). "Revitalisasi Nilai-nilai Kearifan Lokal dalam Pembelajaran
Literasi Sekolah Dasar." Jurnal
Cakrawala Pendidikan, 40(1), 112-124.
Rahmawati, D. et al. (2023).
"Literacy Movement in the Digital Era: A Study in Indonesia." International Journal of Educational Studies,
6(1), 45-53.
Sari, N., Astuti, R., & Lestari, N.
(2022). "Strengthening Character Education through Local Wisdom-Based
Learning." International Journal of
Instruction, 15(2), 293-308.
Saputri, R., & Widodo, S. (2023).
"Preserving Local Wisdom through Literacy Activities: A Case Study in
Banyumas." Jurnal Komunikasi dan
Kebudayaan, 5(1), 77-88.
Tilaar, H.A.R. (2019). Pendidikan Kultural: Membangun Manusia
Berkarakter Indonesia. Jakarta: Gramedia.
UNESCO. (2021). Global Education Monitoring Report. Paris: UNESCO Publishing.
Wicaksono, A., & Zulfa, E. (2022). "Local Wisdom Literacy for Strengthening Community Social Solidarity." Journal of Community Development and Social Welfare, 5(2), 140-150.
Mukhamad Hamid Samiaji
Pegiat Literasi di Komunitas Rumah Kreatif Wadas Kelir Purwokerto