Sitor Situmorang, Badan Bahasa, dan Gerakan Kesastraan di Daerah

Sitor Situmorang lahir pada 2 Oktober 1924. Saat menuju 100 tahun Sitor, banyak komunitas merayakannya, baik di Belanda, Prancis, maupun Indonesia. Di Indonesia, Peringatan 100 Tahun Sitor dirayakan dalam berbagai kegiatan, yaitu di Bali, Jakarta, Balige, dan Doloksanggul. Di Doloksanggul sendiri perayaannya digagas oleh komunitas yang saya bina, yaitu Sanggar Maduma. Gagasan ini terlaksana berkat dukungan bantuan pemerintah dari Pusat Pengembangan dan Pelindungan Bahasa dan Sastra (Pusbanglin), Badan Bahasa. Saya begitu tertantang untuk mengapresiasi Sitor Situmorang dan membuatnya menjadi inspirasi bagi anak didik. Oleh karena itu, topik kegiatan yang kami rancang adalah Menuju 100 Tahun Sitor Situmorang: Mengapresiasi dan Terinspirasi Sitor Situmorang. 

Saya harus mengakui bahwa khususnya di Humbang Hasundutan, gerakan literasi dan kesastraan belum dipandang penting oleh Pemerintah Kabupaten Humbang Hasundutan. Barangkali itu terjadi karena belum adanya penyair yang kuat dari sana. Lebih dari itu, generasi Z sebagai generasi penerus pada masa depan sudah hampir tak peduli dengan literatur. Sastra sama sekali tak ada dalam benak mereka. Hal itu tentu saja menjadi berita negatif untuk perkembangan bangsa. Selain itu, bahwa sastra dan sastrawan kurang dikenal oleh generasi Z nyata adanya. Ketika saya menyosialisasikan kegiatan ini kepada sekolah-sekolah, siswa terperangah dan terkejut. 

Mereka baru tahu bahwa ada sastrawan kuat dari Tanah Batak: Sitor Situmorang. Cukup menempuh jalan terjal melaksanakan rangkaian kegiatan Menuju 100 Tahun Sitor Situmorang. Kebetulan, kami merancang tiga kegiatan yang melibatkan generasi Z: lomba cipta puisi, baca puisi, dan musikalisasi puisi. Pada awalnya, berbagai acara tersebut seolah tak mendapatkan sambutan dari siswa sehingga makin meneguhkan hipotesis saya bahwa gerakan kesastraan tak lagi dipedulikan siswa. Namun, setelah sosialisasi, peserta lomba makin antusias. Malahan, penutupan pengiriman lomba cipta puisi dipercepat dari waktu yang disediakan panitia. 

Tidak Semata Berkhayal

Dari kenyataan itu saya belajar bahwa diperlukan sosialisasi dan perancangan program yang kuat untuk menggalakkan gerakan kesastraan. Khusus di Humbang Hasundutan dan di pelosok lainnya, saya percaya bahwa gerakan kesastraan belum akan dipandang oleh pemerintah setempat. Oleh karena itu, saya masih tertantang untuk menjalin komunikasi dengan berbagai pihak, termasuk membuat kegiatan serupa pada tahun depan. Barangkali diperlukan contoh dan bukti bagi mereka supaya gerakan kesastraan mendapatkan perhatian dari pemerintah. Saya menjadi terkenang pada penyair dari Sumatra Barat: Ubai Dillah Al Anshori. Kala itu kami berbagi cerita di pinggiran Danau Toba. 

Dia hadir sebagai narasumber dengan tajuk “Sastra Sumatera” dan saya membawakan “Tribute to Sitor Situmorang” pada acara Lake Toba Writers Festival (LTWF). Kegiatan LTWF direncanakan akan menjadi kegiatan rutin dan tahun ini merupakan tahun kedua. Begitu juga dengan kegiatan serupa, yaitu Balige Writers Festival yang sudah dilaksanakan 2 tahun berturut-turut. Jika ada kesamaan dari kedua gerakan itu adalah belum adanya perhatian dan dukungan maksimal dari pemerintah setempat. Hal itu berbeda dengan yang terjadi di Sumatra Barat. Kata Ubai, “Bahkan, Kota Padang Panjang dengan APBD tak sampai Rp1 triliun menganggarkan Rp800 juta untuk kegiatan sastra. 

Dengan berseloroh saya lantas berkata, "Saya tak salut lagi mengapa finalis untuk FLS2N selalu dari Sumatra Barat. Toh kalian sudah didukung penuh oleh pemerintah, sedangkan kami masih berjuang sendiri-sendiri." Dari tahun ke tahun, prestasi siswa di bidang FLS2N dari Sumatra Barat memang selalu membanggakan. Padahal, jika ditarik dari hulu, Sumatra Barat dan Sumatra Utara sama-sama kuat di bidang kesastraan dan kebudayaan. Artinya, andai dukungan dari pemerintah ada, prestasi siswa dari Sumatra Utara tak akan kalah membanggakan. Arti yang lebih luas adalah bahwa perlu arahan tegas dari pusat supaya setiap daerah bereksplorasi menggiatkan gerakan kesastraan. 

Kita harus berhenti berpikir bahwa bersastra tidak semata berkhayal. Bersastra adalah berimajinasi tentang masa depan. Sebagai imajinasi, teks sastra berarti fiksi. Namun, fiksi bukan berarti fiktif. Jika fiksi adalah visioner, fiktif adalah penipuan dan pembualan. Sastra itu mengnadung ide dan visi sehingga disebut visioner. Dengan demikian, benarlah apa yang kemudian dituliskan Conrad William Watson bahwa cerita fiksi dan pendidikan karakter itu beririsan. Watson kemudian mengutip Robin Dunbar yang menguraikan hasil penelitiannya bahwa manusia dari zaman purba sampai sekarang sangat terpengaruh cerita fiksi. Manusia tak akan bisa terbang kalau tak terpengaruh cerita fiksi. 

Itulah sebabnya Albert Einstein mengatakan bahwa khayalan lebih “menakjubkan” daripada logika sebab logika hanya akan mengantar kita dari A ke B, sedangkan khayalan mengantar kita ke mana-mana. Kita melewati masa nomaden karena fiksi. Manusia selamat dari peradaban kuno bukan karena adaptasi, melainkan karena imajinasi. Dinosaurus, meski kekar dan bahkan ditengarai menjadi pucuk rantai makanan di dunia, tak bisa beradaptasi karena memang tak bisa berimajinasi sehingga hewan paling besar sepanjang sejarah itu punah. Di sinilah nyata bahwa imajinasi hampir menjadi segalanya bagi kelangsungan dan keberlanjutan hidup manusia. Tanpa imajinasi tak ada masa depan. 

Predikat Ganda

Rachmawati dan Kurniaty (2010) mengartikan imajinasi sebagai kemampuan berpikir divergen yang dilakukan tanpa batas, seluas-luasnya, dan multiprespektif dalam merespons suatu stimulasi. Membaca sastra membuat kita berpikir lebih luas dan luwes. Dengan ucapan lain, membaca (apalagi karya sastra) adalah tindakan produktif. Joko Pinorbo mengatakannya begini, (jika) masa kecil kau rayakan dengan membaca; kepalamu berambutkan kata-kata. Artinya, membaca (karya sastra) adalah berinvestasi. Periksalah semua kemajuan bangsa dengan diawali dari bacaan sastra. Para tokoh pemikir kita juga selalu menaruh perhatian lebih pada teks-teks sastra.

Filsuf dan ahli sains terdahulu selalu mempunyai kebiasaan dan predikat ganda: matematikawan sekaligus sastrawan, fisikawan sekaligus sastrawan, dan filsuf sekaligus sastrawan. Sastra selalu menjadi pijakan karena sastra menjadi kunci atas berbagai pertanyaan yang menemui jalan buntu. Lebih dari itu, David C. Mc. Clelland—psikolog sosial asal Amerika yang sangat tertarik pada masalah-masalah pembangunan—telah membuktikan itu dalam penelitiannya. Konon, Clelland meneliti faktor kemajuan sebuah bangsa. Dia membandingkan Inggris dan Spanyol yang pada abad ke-16 merupakan dua negara raksasa. Perbedaannya adalah sejak saat itu, Inggris makin jaya, tetapi Spanyol melempem. 

Mengapa hal itu terjadi? Sebagaimana dimuat dalam buku Arief Budiman yang berjudul Teori Pembangunan Dunia Ketiga (1995), ternyata faktor penentunya ada pada muatan cerita buku. Tampaknya dongeng dan cerita anak-anak di Inggris pada awal abad ke-16 mengandung semacam virus yang menyebabkan pembacanya terjangkiti penyakit "butuh berprestasi" (need for achievement). Sebaliknya, Spanyol malah didominasi cerita romantis, lagu-lagu melodramatis, dan tarian yang justru membuat penikmatnya lunak hati dan dininabobokan. Dari berbagai pengalaman itulah sudah seharusnya pemerintah pusat dan daerah mendenyutkan gerakan kesastraan dari daerah. Dengan demikian, kita akan beranjak menjadi negara maju. Semoga! 

Riduan Situmorang

Guru Bahasa Indonesia SMAN 1 Doloksanggul-Humbang Hasundutan, Pembina Sanggar Maduma, Tim Ahli Cagar Budaya Humbang Hasundutan, Koordinator P2G Humbang Hasundutan

Sedang Tren

Ingin mengetahui lebih lanjut?

Kunjungi media sosial Badan Pengembangan dan Pembinaan Bahasa